gelisah merangkak dalam ruang waktu mengetuk pintu kesadaran akan kemanusiaanku lihatlah pada dinding-dinding kusam itu ada pantulan lirih tangis rinduku pada geliat malam yang semarak pada desah nafas yang semerbak pada birahi yang memuncak
wahai malam yang bergerak dalam diam yang sunyi dalam keramaian heningmu membuatku tenggelam
sesak oleh kehampaan cinta melemparkanku ke tepi ketidakberdayaan mulut yang kering tanpa mantra semakin kerontang dengan gelisah tak berbatas akupun semakin tersudut terpojokkan oleh berjuta persoalan yang datang bertubi seperti pukulan hujan
dan di sudut keterasingan ini jiwa berontak meruntuhkan tembok-tembok keangkuhan yang membenam kokoh nafasku penuh bara amarah hingga membakar keterjagaan
diam pada ruang waktu yang rapuh hampa oleh keyakinan kukuh cintapun menjauh sementara rindu mulai surut keringkan samudra hati yang berkabut satu dua sujudku luput tiga empat dzikirku susut lima enam imanku surut tujuh lautan darah sujud, jumputlah aku
waktu bergulir menenteng kenangan lembar-lembar kelam menelanjangi persetubuhan: perzinahan dengan berhala! hari ke malam membawaku ke ranjang kenikmatan menghempaskan tubuh di atas puncak birahi demi nafsu, kubiarkan tubuhku lunglai terkulai di bawah temaram kesadaran o, nestapa dalam kedukaan birahi manakah yang bisa memuaskan?
dalam keputusasaanku gelisah memuncak meniadakan pribadi sementara waktu semakin menenggelamkan gerak dalam lautan hampa ketidakpastian
pemujaan demi pemujaan membawaku ke puncak birahi menanggalkan seluruh pakaian keyakinan hingga tanpa sadar telah kuhamili pikiran dan hati dengan janin berhala-berhala
kau telah salah mengira tentangku aku bukannya makhluk sesat seperti sangkamu justru aku taat setaat malaikat dan selalu memujiNya sepanjang hayat lalu bagaimana mungkin tidak percaya sedang aku pernah berhadapan denganNya jika saja waktu itu aku menolak bersujud pada moyangmu itu hanya karena takdir yang mengikatku lagi pula untuk apa aku bersujud pada makhluk?
ada yang ingin kukatakan ketika hujan lebat datang sesaat: pernahkah engkau menyimak riak air yang perlahan lenyap ditelan bumi hingga batuan bisu tanpa teman mengadu dan lumutan sekarat kehilangan nafas?
lihatlah keluh kesah petani menjadi gumpalan serapah dan caci maki putus asa ketika kawanan kerbau mengeluh meratapi lumpur sawah yang membatu
kepala pegal badan pusing pikiran mual perut penat duh, rasanya ingin kentut saja biar beban otak tak lagi menggelayut bahkan kalau perlu akan kumuntahkan semua isi kepala biar badan ini bermandi kata-kata
ada perputaran yang menggeser siang jadi malam, hingga rasa kantuk datang membelai meninakan khayalan muluk nama dan jejak bekas tadi, bekas kemarin dulu ingatkan kembali perjalanan yang samar untuk difaham
malam pun bergegas menuju fajar usai mimpi tak selamanya difahami dini-dini sebab rasa kantuk belum juga beranjak dari pelupuk hati tiap geliat seolah memaksa menikmati nyenyak. dan ini pagi lebih baik tidur lagi seperti hari-hari kemarin karna selimut akan memeluk rapat menghangati mimpi atau membiarkan fajar datang membawa harapan
pagi, di ujung kota yang panas bara menyulut amarah yang sudah terpendam lama amarah pada kekuasaan yang semena-mena amarah pada kebijakan yang hanya memihak si kaya amarah pada politik yang mencabik perasaan wong cilik maka ratusan batupun terlempar memenuhi udara menghunjam puluhan kepala budak-budak dendam hingga darahpun tercecer melumuri aspal hati yang kelam
dan bebatuan pun menangis pilu ketika reranting pohon terkulai lesu ditinggalkan daunan yang jatuh satu-satu
kemana angin akan pergi jika semua gunung t’lah menjadi daratan kering kemana lagi awan akan beriring jika semua langit t’lah menjadi lautan polusi kemana lagi harapan akan bersanding jika semua daya tinggal butiran peluh belaka kemana lagi akan bercermin jika semua cermin t’lah kusam dan retak
"Subhanallah.....!" Itulah kata yang pertama keluar dari mulutku ketika pertama kali melihat sesosok perempuan anggun melintas di hadapanku. Wajahnya memang biasa, tidak begitu cantik jika dibandingkan dengan mantan cewek-cewekku di masa lalu. Tubuhnya sedang: tidak tinggi, juga tidak terlalu pendek. Matanya bulat dengan sinar yang bening, sangat serasi dengan bentuk mukanya yang juga bulat. Tapi bukan bentuk fisik itu yang membuatku tertarik sejak pertama kali melihatnya. Aku merasa ada sesuatu di balik itu semua sehingga membuatku tertarik padanya. Tapi aku sendiri tidak tahu, apa itu? Mungkin karena tubuhnya yang dibalut oleh baju kurung yang memesonakan, atau karena sorot matanya yang teduh, yang membuatku merasa betah untuk memandangnya berlama-lama seolah aku tengah melihat hijaunya hutan yang menjadi obsesiku. Atau karena pancaran wajahnya yang bersih seolah aku tengah menghadapi guyuran hujan yang menyirami kerontang hatiku. Entahlah. Tapi aku yakin, perempuan ini sangat istimewa bagiku, bahkan mungkin bagi setiap orang yang memandangnya.