"Subhanallah.....!" Itulah kata yang pertama keluar dari mulutku ketika pertama kali melihat sesosok perempuan anggun melintas di hadapanku. Wajahnya memang biasa, tidak begitu cantik jika dibandingkan dengan mantan cewek-cewekku di masa lalu. Tubuhnya sedang: tidak tinggi, juga tidak terlalu pendek. Matanya bulat dengan sinar yang bening, sangat serasi dengan bentuk mukanya yang juga bulat. Tapi bukan bentuk fisik itu yang membuatku tertarik sejak pertama kali melihatnya. Aku merasa ada sesuatu di balik itu semua sehingga membuatku tertarik padanya. Tapi aku sendiri tidak tahu, apa itu? Mungkin karena tubuhnya yang dibalut oleh baju kurung yang memesonakan, atau karena sorot matanya yang teduh, yang membuatku merasa betah untuk memandangnya berlama-lama seolah aku tengah melihat hijaunya hutan yang menjadi obsesiku. Atau karena pancaran wajahnya yang bersih seolah aku tengah menghadapi guyuran hujan yang menyirami kerontang hatiku. Entahlah. Tapi aku yakin, perempuan ini sangat istimewa bagiku, bahkan mungkin bagi setiap orang yang memandangnya.
Aneh memang, aku yang sudah kehilangan rasa dan semangat terhadap perempuan, tiba-tiba harus disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang dirinya, perempuan yang baru saja kulihat pertama kali, yang aku sendiri tidak kenal siapa dirinya. Sungguh aneh. Bayangkan saja, sudah hampir 84 purnama aku tidak merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Tapi kali ini, seolah ada yang memaksaku untuk berusaha mengenalinya lebih dekat, bahkan lebih dari itu, memaksaku untuk bisa memilikinya, meskipun aku sadar hal itu sangat jauh dari mungkin. Betapa tidak? Aku yang memiliki status duda harus mengejar dan mendapatkan seorang perempuan muda, yang usianya sendiri aku tidak tahu, mungkin setengah dari usiaku. Sungguh ini gila, seperti "mission impossible" bagiku. Tapi mungkin begitulah rasa. Siapapun tidak bisa menolaknya.
"Gila, fren, baru kali ini gue tertarik lagi sama cewek," kataku ketika bertemu dengan sahabat baikku, Sukma. Sekalipun dia juga sama-sama jomblo, tapi dia tetap menyarankan supaya aku segera mengakhiri hidup membujang seperti sekarang.
"Gila gimana? Justru menurut gue itu bagus. Elhu kan udah hampir tujuh tahun sendirian... Sudah saatnya lhu mikirin hidup rumah tangga lagi. Jangan ngejomblo aja kayak sekarang, keburu lapuk lhu entar!"
"Tapi kayaknya jauh deh buat bisa dapetin dia. Doi masih terlalu muda, cing," kataku memberi alasan.
"Alaah, jaman sekarang tuh usia bukan ukuran. Lhu tauk kan, banyak kakek-kakek yang masih bisa dapetin daun muda,"
"Iyaa..... tapi kakek-kakeknya punya banyak duit, sedangkan gue duren, duda kere en nekad. Mana mau cewek sama kere macam gue ini!"
"Lho, kan belum tentu semua cewek melihat sisi materinya. Bisa saja cewek itu melihat cowok dari sisi lain, seperti cinta dan perhatian, misalnya...."
"Taik kucing dengan cinta dan perhatian! Lhu tauk sendiri gimana dulu gue begitu cinta dan perhatiannya sama bini gue, tapi kenyataannya..... do’i malah minta cerai hanya gara-gara gue berhenti kerja lalu nganggur. Sekarang tuh duit, cing, duiiit!"
Aku menganggap argumentasi yang dikemukakan sahabatku itu tidak tepat jika dihadapkan pada masalah yang pernah menimpaku. Begitu cinta dan perhatiannya aku pada istriku dulu, kadang-kadang aku sampai melakukan perbuatan yang jarang dilakukan oleh para suami. Bahkan setelah berceraipun, aku rela menunggunya selama hampir 84 purnama, berharap dia sadar bahwa aku tidak pernah main-main dengan ikrarku, yang pernah aku ucapkan sewaktu menikah dulu. Tapi kenyataannya, semua itu sia-sia; bullshit belaka! Pernikahan menjadi seperti permainan anak-anak baginya, yang tidak memiliki arti sakral, sehingga bisa dengan mudah berakhir, semudah untuk melakukannya kembali.
"Ya, itu kan mantan elhu... siapa tauk yang ini beda. Kali aja yang ini lebih sabar, lebih bisa menerima keadaan elhu dan lebih mengerti..."
"Ntahlah, Suk, gue sendiri belum kenal dia. Namanya aja gue gak tauk,"
"Lho, elhu tuh gimana? Kalo lhu memang ngebet, cari tauk dong, cari informasi. Jangan hanya baru ngeliat sepintas, lhu udah tergila-gila. Gokil tuh namanya...!"
Aku hanya diam saja ketika Sukma mengataiku seperti itu. Ada benarnya omongan sahabatku itu, memang sebaiknya aku mencari informasi tentang dirinya, paling tidak mencari tahu siapa nama gadis itu, syukur-syukur aku bisa kenalan langsung dengannya. Lagi pula, belum tentu dia adalah perempuan idealku jika sudah mengetahui lebih banyak tentang dirinya, karena pandanganku tentang perempuan sudah jauh berubah setelah mengalami kejadian yang menyakitkan: perceraian! Aku sudah tidak lagi melihat sisi luar dari sosok perempuan, tidak lagi mengutamakan bentuk fisik semata, tapi yang lebih penting dari itu semua adalah apakah dia bisa meluruskan kekacauan pikiranku atau tidak; apakah dia bisa membawaku ke jalan terang sehingga aku bisa kembali menekuri sajadah dan melumuri mulutku dengan dzikir, seperti yang dulu sering aku lakukan, atau tidak. Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajibanku sebagai hamba, karena itu aku sangat menginginkan ada orang yang bisa mengajariku bagaimana mensyukuri nikmat hidup; mengajaraku a-ba-ta-tsa penghambaan; dan membimbingku ke jalan lempang kehidupan. Ah, seandainya saja ada.....
***
Sore ini langit nampak cerah. Gumpalan awan putih terlihat jelas menghiasi langit, membentuk barisan yang beriringan seperti gumpalan kapas yang tertiup angin. Meski udara terasa cukup dingin, karena hujan tidak jadi datang, tapi tidak menyurutkan orang-orang untuk menikmati sore ini dengan penuh keriangan. Maklum, sudah seminggu ini hujan terus-terusan mengguyur setiap sore, seolah ingin menguras seluruh persediaan air yang ada di atas langit sana. Karenanya wajar saja jika orang-orang ingin menikmati sore yang cerah itu dengan sekedar melakukan JJS (jalan-jalan sore), sebagai pelampiasan dendam karena selama seminggu penuh mereka hanya menikmatinya dengan berdiam diri di dalam rumah.
Demikian juga aku. Sudah sebulan belakangan ini disibukkan oleh pekerjaan, karena itu aku ingin sedikit menghilangkan kepenatan dengan menghabiskan waktu sore ini sambil menikmati keindahan alam dan mengamati pergerakkan manusia, seperti yang dulu sering aku lakukan. Dulu, hampir setiap sore aku habiskan waktu di tempatku duduk sekarang: di bawah pohon beringin, sebelah ujung kiri lapangan bola kampungku. Tempat ini memang menjadi tempat favoritku jika aku mengalami perasaan jenuh dan suntuk, atau jika ingin sekedar menghabiskan waktu. Selain tempatnya yang agak jauh dari jalan raya sehingga tidak mudah terganggu oleh orang lain, juga letaknya yang agak tinggi karena berada di atas gundukan tanah yang meyerupai bukit kecil, sehingga memudahkanku untuk mengedarkan pandangan ke sekitarnya untuk mengamati pergerakkan manusia. Kegiatan ini sudah seperti bagian dari hobbyku. Entah mengapa, aku selalu saja tertarik pada keindahan alam dan gerak-gerik manusia. Alam yang penuh dengan misteri membuatku selalu berfikir untuk mencari hikmah yang ada di baliknya. Sementara dalam setiap pergerakan manusia, sepertinya tertera sebuah tulisan "look at me!" pada setiap punggung dan dahi mereka, sehingga membuatku jadi penasaran untuk mengamati dan membuat tafsiran-tafsiran pada setiap gerakan dan penampilan mereka. Terkadang risih juga melihat penampilan mereka yang super seksi: mempertontonkan aurat dan kemolekan tubuhnya, tapi bukankah mereka berpenampilan seperti itu untuk dilihat orang lain dan sengaja dipertunjukkan untuk dinikmati oleh orang-orang mata keranjang sepertiku ini?
Di bawah pohon beringin itu, sambil menyandarkan badan pada batang pohonnya, aku mengamati semua pergerakan manusia yang berada di bawahku, sambil meraba-raba gerangan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Di jalan raya, anak-anak ABG terlihat berseliweran dengan tingkah-polahnya masing-masing. Ada yang bolak-balik saja dengan sepeda motor; ada yang bermain sepeda sambil sesekali mempertontonkan akrobat kebolehan mereka; ada juga yang hanya berjalan kaki saja. Sementara di lapangan, tampak anak-anak kecil berlarian saling mengejar bola. Tawa mereka terdengar begitu lepas ketika melihat temannya jatuh terganjal oleh kaki temannya yang lain sewaktu mereka berebut bola. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka terdengar begitu polos seolah tidak ada beban yang menghimpit mereka. Ingin rasanya kembali menjadi anak-anak seperti mereka. Mereka bisa bermain, berlarian, tertawa lepas dan berbuat apa saja yang menyenangkan tanpa perlu memikirkan apakah besok harga-harga barang kebutuhan akan naik atau tidak, apakah besok masih bisa makan atau tidak.
Lama juga aku mengamati mereka. Tak terasa, sudah satu jam lebih aku duduk di bawah pohon beringin ini. Biasanya, setelah "bertafakur" seperti ini perasaanku menjadi sedikit tenang, dan segala kepenatan sehabis bekerja pun sedikit terobati. Tapi kali ini tidak. Perasaanku tidak berubah: masih galau dan resah, seperti ada sesuatu yang menghantuiku; mengaduk-ngaduk otakku, tapi itu entah apa. Ah, perduli amat, pikirku. Lalu akupun bersiap-siap untuk meninggalkan pohon beringin favoritku, tanpa memperdulikan perasaan yang masih menyimpan kegundahan. Mudah-mudahan saja diperjalan nanti aku bisa menemukan jawaban kegalauan hatiku itu, harapku.
"Ufh, cewek itu lagi!" desisku tanpa sadar, ketika melihat sosok perempuan yang tengah berjalan membelakangiku, berdua dengan temannya. Lama aku memperhatikan langkahnya yang gemulai sambil berharap dia membalikkan badannya ke arahku. Tapi sia-sia, karena dia terus saja berjalan menjauh dari pandanganku. Kalau saja aku memiliki seribu muka, ingin aku menghampirinya, sekedar untuk bertegur sapa dan berkenalan dengannya. Tapi itu tidak aku lakukan. Hilang sudah semua keberanianku mendekati perempuan, yang dulu menjadi modal utamaku untuk mendapatkan banyak pacar. Pengecut! Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang.
Aku masih saja mematung, memandangi langkahnya sampai ia hilang di belokan jalan. Pikiranku yang masih kalut dengan berbagai macam pikiran yang menderaku, semakin kacau setelah melihat perempuan itu, yang secara diam-diam telah merasuki pikiranku. Ah, benar kata Sukma, sahabatku: Aku harus segera mengenalinya, agar pikiranku tidak terus menerus dihantui rasa penasaran. Tapi dengan cara bagaimana? Itu yang aku tidak tahu. Eh, bukankah tadi dia berjalan dengan Fatimah, adik dari temanku? Mungkin lewat dia aku bisa lebih mengenal dirinya. Mudah-mudahan.....
***
"Namanya, Dewi," Fatimah memulai cerita, ketika tadi, sewaktu aku berkunjung ke rumahnya, menanyakan perempuan yang kemarin berjalan bersamanya. "Dia baru saja pindah ke kampung kita beberapa bulan lalu. Katanya sih, dia pindah ke sini karena ingin melanjutkan sekolah dan memamfaatkan ilmu yang telah dia peroleh dari pesantren..."
Cukup detail Fatimah menceritakan tentang perempuan itu, mulai dari keseriusannya mencari ilmu, keikhlasannya dalam menyebarkan ilmu agama yang dia peroleh dari pesan-trennya dulu, sampai pada ketaatannya dalam beribadah. Tapi semua informasi itu sudah tidak menarik lagi bagiku karena aku sudah keburu dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya tidak aku harapkan: Sebuah kenyataan bahwa dia masih terlalu muda, dan masih ingin menimba ilmu lebih banyak sehingga belum berniat untuk menerima pendekatan dari lelaki manapun. Maka akupun segera pamitan, tidak ingin berlama-lama lagi mendengar-kan detail-detail lain yang diceritakan Fatimah.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Fatimah, pikiranku dijejali berbagai macam pertanyaan: Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Masih bisakah aku pulang ke rumah para kekasih Tuhan? Masih tersisakah waktu bagiku untuk kembali ke jalan lurus sebelum ajalku tiba? Pertanyaan-pertanyaan itu seolah tidak hentinya merasukki otakku, mengiringi langkah gontaiku sepanjang jalan. Ada rasa kecewa yang mengganjal hatiku. Kecewa bukan karena perempuan yang ingin aku kenali tidak seperti harapanku, tapi kecewa karena aku belum bisa pulang dalam waktu dekat ini. Sepertinya masaku untuk menelusuri hidup sendiri masing panjang; masih teramat panjang.....
Cikembar, 30/10/2005
Sumber Ilustrasi: http://ekarusdiana.blogdetik.com/2011/02/04/sehatnya-rambut-di-balik-jilbab
Aneh memang, aku yang sudah kehilangan rasa dan semangat terhadap perempuan, tiba-tiba harus disibukkan dengan pikiran-pikiran tentang dirinya, perempuan yang baru saja kulihat pertama kali, yang aku sendiri tidak kenal siapa dirinya. Sungguh aneh. Bayangkan saja, sudah hampir 84 purnama aku tidak merasakan ketertarikan terhadap lawan jenis. Tapi kali ini, seolah ada yang memaksaku untuk berusaha mengenalinya lebih dekat, bahkan lebih dari itu, memaksaku untuk bisa memilikinya, meskipun aku sadar hal itu sangat jauh dari mungkin. Betapa tidak? Aku yang memiliki status duda harus mengejar dan mendapatkan seorang perempuan muda, yang usianya sendiri aku tidak tahu, mungkin setengah dari usiaku. Sungguh ini gila, seperti "mission impossible" bagiku. Tapi mungkin begitulah rasa. Siapapun tidak bisa menolaknya.
"Gila, fren, baru kali ini gue tertarik lagi sama cewek," kataku ketika bertemu dengan sahabat baikku, Sukma. Sekalipun dia juga sama-sama jomblo, tapi dia tetap menyarankan supaya aku segera mengakhiri hidup membujang seperti sekarang.
"Gila gimana? Justru menurut gue itu bagus. Elhu kan udah hampir tujuh tahun sendirian... Sudah saatnya lhu mikirin hidup rumah tangga lagi. Jangan ngejomblo aja kayak sekarang, keburu lapuk lhu entar!"
"Tapi kayaknya jauh deh buat bisa dapetin dia. Doi masih terlalu muda, cing," kataku memberi alasan.
"Alaah, jaman sekarang tuh usia bukan ukuran. Lhu tauk kan, banyak kakek-kakek yang masih bisa dapetin daun muda,"
"Iyaa..... tapi kakek-kakeknya punya banyak duit, sedangkan gue duren, duda kere en nekad. Mana mau cewek sama kere macam gue ini!"
"Lho, kan belum tentu semua cewek melihat sisi materinya. Bisa saja cewek itu melihat cowok dari sisi lain, seperti cinta dan perhatian, misalnya...."
"Taik kucing dengan cinta dan perhatian! Lhu tauk sendiri gimana dulu gue begitu cinta dan perhatiannya sama bini gue, tapi kenyataannya..... do’i malah minta cerai hanya gara-gara gue berhenti kerja lalu nganggur. Sekarang tuh duit, cing, duiiit!"
Aku menganggap argumentasi yang dikemukakan sahabatku itu tidak tepat jika dihadapkan pada masalah yang pernah menimpaku. Begitu cinta dan perhatiannya aku pada istriku dulu, kadang-kadang aku sampai melakukan perbuatan yang jarang dilakukan oleh para suami. Bahkan setelah berceraipun, aku rela menunggunya selama hampir 84 purnama, berharap dia sadar bahwa aku tidak pernah main-main dengan ikrarku, yang pernah aku ucapkan sewaktu menikah dulu. Tapi kenyataannya, semua itu sia-sia; bullshit belaka! Pernikahan menjadi seperti permainan anak-anak baginya, yang tidak memiliki arti sakral, sehingga bisa dengan mudah berakhir, semudah untuk melakukannya kembali.
"Ya, itu kan mantan elhu... siapa tauk yang ini beda. Kali aja yang ini lebih sabar, lebih bisa menerima keadaan elhu dan lebih mengerti..."
"Ntahlah, Suk, gue sendiri belum kenal dia. Namanya aja gue gak tauk,"
"Lho, elhu tuh gimana? Kalo lhu memang ngebet, cari tauk dong, cari informasi. Jangan hanya baru ngeliat sepintas, lhu udah tergila-gila. Gokil tuh namanya...!"
Aku hanya diam saja ketika Sukma mengataiku seperti itu. Ada benarnya omongan sahabatku itu, memang sebaiknya aku mencari informasi tentang dirinya, paling tidak mencari tahu siapa nama gadis itu, syukur-syukur aku bisa kenalan langsung dengannya. Lagi pula, belum tentu dia adalah perempuan idealku jika sudah mengetahui lebih banyak tentang dirinya, karena pandanganku tentang perempuan sudah jauh berubah setelah mengalami kejadian yang menyakitkan: perceraian! Aku sudah tidak lagi melihat sisi luar dari sosok perempuan, tidak lagi mengutamakan bentuk fisik semata, tapi yang lebih penting dari itu semua adalah apakah dia bisa meluruskan kekacauan pikiranku atau tidak; apakah dia bisa membawaku ke jalan terang sehingga aku bisa kembali menekuri sajadah dan melumuri mulutku dengan dzikir, seperti yang dulu sering aku lakukan, atau tidak. Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajibanku sebagai hamba, karena itu aku sangat menginginkan ada orang yang bisa mengajariku bagaimana mensyukuri nikmat hidup; mengajaraku a-ba-ta-tsa penghambaan; dan membimbingku ke jalan lempang kehidupan. Ah, seandainya saja ada.....
Sore ini langit nampak cerah. Gumpalan awan putih terlihat jelas menghiasi langit, membentuk barisan yang beriringan seperti gumpalan kapas yang tertiup angin. Meski udara terasa cukup dingin, karena hujan tidak jadi datang, tapi tidak menyurutkan orang-orang untuk menikmati sore ini dengan penuh keriangan. Maklum, sudah seminggu ini hujan terus-terusan mengguyur setiap sore, seolah ingin menguras seluruh persediaan air yang ada di atas langit sana. Karenanya wajar saja jika orang-orang ingin menikmati sore yang cerah itu dengan sekedar melakukan JJS (jalan-jalan sore), sebagai pelampiasan dendam karena selama seminggu penuh mereka hanya menikmatinya dengan berdiam diri di dalam rumah.
Demikian juga aku. Sudah sebulan belakangan ini disibukkan oleh pekerjaan, karena itu aku ingin sedikit menghilangkan kepenatan dengan menghabiskan waktu sore ini sambil menikmati keindahan alam dan mengamati pergerakkan manusia, seperti yang dulu sering aku lakukan. Dulu, hampir setiap sore aku habiskan waktu di tempatku duduk sekarang: di bawah pohon beringin, sebelah ujung kiri lapangan bola kampungku. Tempat ini memang menjadi tempat favoritku jika aku mengalami perasaan jenuh dan suntuk, atau jika ingin sekedar menghabiskan waktu. Selain tempatnya yang agak jauh dari jalan raya sehingga tidak mudah terganggu oleh orang lain, juga letaknya yang agak tinggi karena berada di atas gundukan tanah yang meyerupai bukit kecil, sehingga memudahkanku untuk mengedarkan pandangan ke sekitarnya untuk mengamati pergerakkan manusia. Kegiatan ini sudah seperti bagian dari hobbyku. Entah mengapa, aku selalu saja tertarik pada keindahan alam dan gerak-gerik manusia. Alam yang penuh dengan misteri membuatku selalu berfikir untuk mencari hikmah yang ada di baliknya. Sementara dalam setiap pergerakan manusia, sepertinya tertera sebuah tulisan "look at me!" pada setiap punggung dan dahi mereka, sehingga membuatku jadi penasaran untuk mengamati dan membuat tafsiran-tafsiran pada setiap gerakan dan penampilan mereka. Terkadang risih juga melihat penampilan mereka yang super seksi: mempertontonkan aurat dan kemolekan tubuhnya, tapi bukankah mereka berpenampilan seperti itu untuk dilihat orang lain dan sengaja dipertunjukkan untuk dinikmati oleh orang-orang mata keranjang sepertiku ini?
Di bawah pohon beringin itu, sambil menyandarkan badan pada batang pohonnya, aku mengamati semua pergerakan manusia yang berada di bawahku, sambil meraba-raba gerangan apa yang ada di dalam hati dan pikiran mereka. Di jalan raya, anak-anak ABG terlihat berseliweran dengan tingkah-polahnya masing-masing. Ada yang bolak-balik saja dengan sepeda motor; ada yang bermain sepeda sambil sesekali mempertontonkan akrobat kebolehan mereka; ada juga yang hanya berjalan kaki saja. Sementara di lapangan, tampak anak-anak kecil berlarian saling mengejar bola. Tawa mereka terdengar begitu lepas ketika melihat temannya jatuh terganjal oleh kaki temannya yang lain sewaktu mereka berebut bola. Kata-kata yang keluar dari mulut mereka terdengar begitu polos seolah tidak ada beban yang menghimpit mereka. Ingin rasanya kembali menjadi anak-anak seperti mereka. Mereka bisa bermain, berlarian, tertawa lepas dan berbuat apa saja yang menyenangkan tanpa perlu memikirkan apakah besok harga-harga barang kebutuhan akan naik atau tidak, apakah besok masih bisa makan atau tidak.
Lama juga aku mengamati mereka. Tak terasa, sudah satu jam lebih aku duduk di bawah pohon beringin ini. Biasanya, setelah "bertafakur" seperti ini perasaanku menjadi sedikit tenang, dan segala kepenatan sehabis bekerja pun sedikit terobati. Tapi kali ini tidak. Perasaanku tidak berubah: masih galau dan resah, seperti ada sesuatu yang menghantuiku; mengaduk-ngaduk otakku, tapi itu entah apa. Ah, perduli amat, pikirku. Lalu akupun bersiap-siap untuk meninggalkan pohon beringin favoritku, tanpa memperdulikan perasaan yang masih menyimpan kegundahan. Mudah-mudahan saja diperjalan nanti aku bisa menemukan jawaban kegalauan hatiku itu, harapku.
"Ufh, cewek itu lagi!" desisku tanpa sadar, ketika melihat sosok perempuan yang tengah berjalan membelakangiku, berdua dengan temannya. Lama aku memperhatikan langkahnya yang gemulai sambil berharap dia membalikkan badannya ke arahku. Tapi sia-sia, karena dia terus saja berjalan menjauh dari pandanganku. Kalau saja aku memiliki seribu muka, ingin aku menghampirinya, sekedar untuk bertegur sapa dan berkenalan dengannya. Tapi itu tidak aku lakukan. Hilang sudah semua keberanianku mendekati perempuan, yang dulu menjadi modal utamaku untuk mendapatkan banyak pacar. Pengecut! Itulah kata yang paling tepat untuk menggambarkan keadaanku sekarang.
Aku masih saja mematung, memandangi langkahnya sampai ia hilang di belokan jalan. Pikiranku yang masih kalut dengan berbagai macam pikiran yang menderaku, semakin kacau setelah melihat perempuan itu, yang secara diam-diam telah merasuki pikiranku. Ah, benar kata Sukma, sahabatku: Aku harus segera mengenalinya, agar pikiranku tidak terus menerus dihantui rasa penasaran. Tapi dengan cara bagaimana? Itu yang aku tidak tahu. Eh, bukankah tadi dia berjalan dengan Fatimah, adik dari temanku? Mungkin lewat dia aku bisa lebih mengenal dirinya. Mudah-mudahan.....
"Namanya, Dewi," Fatimah memulai cerita, ketika tadi, sewaktu aku berkunjung ke rumahnya, menanyakan perempuan yang kemarin berjalan bersamanya. "Dia baru saja pindah ke kampung kita beberapa bulan lalu. Katanya sih, dia pindah ke sini karena ingin melanjutkan sekolah dan memamfaatkan ilmu yang telah dia peroleh dari pesantren..."
Cukup detail Fatimah menceritakan tentang perempuan itu, mulai dari keseriusannya mencari ilmu, keikhlasannya dalam menyebarkan ilmu agama yang dia peroleh dari pesan-trennya dulu, sampai pada ketaatannya dalam beribadah. Tapi semua informasi itu sudah tidak menarik lagi bagiku karena aku sudah keburu dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya tidak aku harapkan: Sebuah kenyataan bahwa dia masih terlalu muda, dan masih ingin menimba ilmu lebih banyak sehingga belum berniat untuk menerima pendekatan dari lelaki manapun. Maka akupun segera pamitan, tidak ingin berlama-lama lagi mendengar-kan detail-detail lain yang diceritakan Fatimah.
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Fatimah, pikiranku dijejali berbagai macam pertanyaan: Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Masih bisakah aku pulang ke rumah para kekasih Tuhan? Masih tersisakah waktu bagiku untuk kembali ke jalan lurus sebelum ajalku tiba? Pertanyaan-pertanyaan itu seolah tidak hentinya merasukki otakku, mengiringi langkah gontaiku sepanjang jalan. Ada rasa kecewa yang mengganjal hatiku. Kecewa bukan karena perempuan yang ingin aku kenali tidak seperti harapanku, tapi kecewa karena aku belum bisa pulang dalam waktu dekat ini. Sepertinya masaku untuk menelusuri hidup sendiri masing panjang; masih teramat panjang.....
Cikembar, 30/10/2005
Sumber Ilustrasi: http://ekarusdiana.blogdetik.com/2011/02/04/sehatnya-rambut-di-balik-jilbab