negeriku kembali menangis ketika darah berceceran di kuta dan legitan kini kembali tumpah di sekitar mega kuningan
o, hati siapa yang tak marah ketika melihat darah bersimbah memenuhi halaman koran dan majalah? hati siapa yang tak sedih ketika melihat tangis melirih menjadi nyanyian pengiring berita televisi?
kawan, kenapa dengan darah kenapa dengan amarah kenapa dengan amukan kebencian ketika menyelesaikan sebuah masalah? tak adakah cara lain yang lebih indah untuk mengubah suatu kesalahan?
kawan, kemana dengan cinta kemana dengan etika kemana dengan peradaban ketika dunia dipenuhi kebobrokan? masih adakah rasa lain yang lebih indah untuk menebar suatu kedamaian
karna kau tidak membaca cobalah mengeja kata-kata karna kau tidak melihat cobalah meraba benda-benda karna kau tidak mendengar cobalah menyimak desir angin karna kau tidak mengerti cobalah mengkaji denyut nadi karna kau manusia cobalah menjadi yang mesti
kenangan adalah lembaran abadi dalam ingatan malam seperti gulungan ombak yang kembali menghantam karang masalalu adalah catatan sejarah dalam lamunan kelam seperti rajahan yang membekas pada kulit tubuh yang kering kerontang karena itu mengapa mesti kita pungkiri ketika ia telah menjadi darah dan nafas yang menyibukkan hari-hari kita
perempuan, bangunkan aku dari tidur di atas pasir pantai ini sebelum ombak pasang menyeretku ke tengah samudra yang bisu
perempuan, ketahuilah aku seribu angan telah aku rajut bersama waktu yang melingkar di tumit sepatu sejuta mimpi telah aku anyam bersama malam yang membungkam mata hatiku namun lelap tidurku makin larut di pantai, di atas pasir ini: hening sendiri lelap larut senyap sendiri
... dan matahari kian beranjak lalu kitapun siap-siap untuk beranjak pula meninggalkan jejak kenangan di antara reranting pohon cemara ah, jika saja waktu selalu tersedia ingin kumau kita selalu bersama
... dan kitapun pulang dengan membawa penat serta kenangan