Pagi itu, sebelum jam pelajaran dimulai, Aryanti, Astie dan Yuni dipanggil oleh pak Sabda ke ruang BP. Tentu saja ketiga cewek manis dan cerdas ini kaget bukan kepalang. Bagi mereka, Ruang BP adalah ruang yang identik dengan hukuman. Siapapun yang dipanggil ke ruangan ini pastilah orang tersebut bermasalah, akibatnya ruang BP menjadi ruangan yang paling menyeramkan dan paling dibenci oleh semua siswa. Mereka menduga-duga kesalahan apa yang telah mereka perbuat sehingga mereka harus berada di ruangan yang menakutkan ini. "Ah, jangan-jangan pak Sabda marah karena masalalu dan jati dirinya telah disebarluaskan," pikir mereka. Perasaan ketiga anak itu semakin gelisah saja ketika mereka menunggu cukup lama di ruangan itu. Sementara pak Sabda malah asyik ngobrol dengan pak Sholeh di luar, tanpa menghiraukan mereka.
"Tie, gara-gara kamu tuh pak Sabda marah ke kita," Aryanti menuding Astie sebagai penyebab utama dipanggilnya mereka bertiga.
"Gara-gara apaan? Kamu jangan nuduh sembarangan gitu dong, Yan!" Astie sewot menerima tuduhan yang dilontarkan sobatnya itu.
"Gara-gara kamu nyeritain masalalu pak Sabda ke teman-teman sehingga mereka jadi tahu kalau pak Sabda itu dulunya...."
"Masa sih cuma gara-gara itu pak Sabda jadi marah. Aku rasa sih, bukan karena itu." Astie memotong ucapan Aryantie yang belum selesai. Dia merasa hal itu tidak mungkin, terlalu mengada-ngada.
"Iya, masa sih cuma gara-gara kita menceritakan tentang ativitasnya sewaktu dia masih kuliah, dia menjadi marah." Yuni mendukung Astie.
"Ya, abis karena masalah apa dong kita dipanggil kesini kalo bukan karena masalah itu. Kita-kita kan gak pernah bikin masalah?" tanya Aryanti kepada kedua temannya.
Astie tidak menjawab, Yuni pun membisu. "Mungkin benar juga omongan si Yanti ini. Bukankan pak Sabda paling tidak suka jati dirinya sebagai penyair diketahui banyak orang?" pikir keduanya. Ketiganya membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing: menduga-duga sesuatu yang bakal menimpa mereka.
"Assalaamu ‘alaikum..." Sebuah suara yang sangat mereka kenal mengagetkan perasaan. Wajah ketiganya tampak semakin tegang, khawatir sesuatu yang buruk akan menimpa diri mereka. Tapi mereka menjawab juga sapaan tersebut. "Wa’alaikum salaam...," sahut mereka.
"Maaf, bapak telah membuat kalian menunggu agak lama. Tadi ada sedikit urusan dengan pak Sholeh...." pak Sabda mulai membuka pembicaraan dengan menerangkan alasan keterlambatannya. "Begini, bapak memanggil kalian bertiga supaya kalian mau menjadi tutor adik-adik kelas kalian."
"Tutor apa, pak?" Aryanti memberanikan diri bertanya, kurang mengerti.
"Tidak lama lagi sekolah kita akan mengikuti olimpiade MIPA. Karena kalian pernah menjadi juara tingkat Kabupaten, tentunya kalian memiliki pengalaman yang bisa diberikan pada adik-adik kelas kalian. Bapak harapkan kamu, Yanti, bisa membimbing pelajaran Fisika; Astie, membimbing pelajaran Matematika; sedang kamu, Yun, bisa membimbing pelajaran Biologi," pak Sabda menjelaskan tujuan pemanggilan mereka.
Mendengar penjelasan tersebut, hilanglah kekhawatiran mereka selama ini. Tidak disangka, ternyata hanya untuk masalah itu mereka dipanggil.
"Bagaimana, kalian siap?"
Tentu saja pertanyaan itu hanya sekedar basa-basi karena bagaimanapun, siap tidak siap, mereka harus melaksanakan perintah tersebut. Sebagai teladan di sekolah, tentunya mereka tidak mau mengecewakan gurunya itu.
"Baik, pak. Kapan bisa kami mulai?" Aryanti menanyakan.
"Karena kita tidak memiliki banyak waktu, bagaimana kalau dimulai nanti siang, sepulang sekolah? Ini daftar nama siswa kelas delapan yang dipersiapkan untuk mengikuti olimpiade itu." Pak Sabda memberikan selembar kertas yang berisikan nama-nama siswa yang akan diikutkan dalam Olimpiade MIPA. Setiap mata pelajaran terdiri dari tiga orang siswa. Kelompok Fisika terdiri dari Rahayu, Ita dan Fuji; kelompok Matematika terdiri dari Irma, Nining dan Sarah, sedangkan kelompok Biologi terdiri dari Rena, Putri dan Lisarah.
***
"Bagaimana, masih ada yang kurang jelas?" Aryanti bertanya kepada adik-adik kelasnya, yang dibimbingnya siang itu. Adik-adik kelasnya tidak menjawab tapi malah sibuk membuka-buka buku catatan Fisika mereka, mencari-cari masalah yang kurang mereka pahaminya dari pelajaran tersebut.
"Kak, saya kurang paham mengenai proses terjadinya angin laut dan angin darat, bisa kakak jelaskan?" Fuji, salah seorang yang masuk dalam kelompok Fisika, menanyakan.
"Baiklah, tapi sebelum kakak menerangkan, kakak mau nanya dulu. Kalian masih ingat apa yang dimaksud dengan konduksi, konveksi dan radiasi?"
"Konduksi adalah perpindahan kalor tanpa disertai perpindahan partikel-partikel zat. Konveksi adalah perpindahan kalor yang disertai dengan perpindahan partikel-partikel zat. Sedangkan radiasi adalah perpindahan kalor tanpa melalui medium atau zat perantara," Rahayu memberikan penjelasan.
"Bagus. Nah, angin laut dan angin darat itu terjadi karena adanya konveksi udara, karena perpindahan kalor secara konveksi atau secara aliran hanya bisa terjadi pada udara atau gas dan zat cair saja. Sedangkan perpindahan kalor secara konduksi atau secara hantaran hanya terjadi pada zat padat..."
"Saya mengerti tentang masalah itu, kak, tapi maksud sayaa... bagaimana proses terjadinya?" Fuji memotong penjelasan Aryanti yang belum selesai.
"Begini, pada siang hari suhu udara di darat lebih panas daripada suhu udara di laut karena itu udara di darat naik ke atas dan digantikan oleh udara dari laut sehingga terjadilah angin laut. Tapi kebalikannya, pada malam hari suhu udara di laut lebih panas daripada suhu udara di darat karena itu udara di laut naik ke atas dan digantikan oleh udara dari darat sehingga terjadilah angin darat," Aryanti menjelaskan.
"Kenapa pada siang hari udara di darat lebih panas daripada udara di laut, kak?" Ita menuntut penjelasan yang lebih detail dari tutornya itu.
"Tentu kalian masing ingat, suatu zat akan lebih cepat panas jika memilki kalor jenis dan massa yang kecil. Nah, kalor jenis tanah itu lebih kecil daripada kalor jenis air sehingga pada siang hari daratan menjadi lebih cepat panas daripada lautan. Tetapi karena kalor jenis air itu lebih besar daripada kalor jenis tanah, maka air tidak akan cepat dingin sehingga pada malam hari udara di lautan lebih panas dari pada di daratan,"
Mendengar penjelasan itu, Ita manggut-manggut, demikian juga dengan Rahayu dan Fuji. Ketiganya mulai memahami penjelasan Aryanti, kakak kelas yang menjadi tutornya itu.
"Satu lagi pertanyaan, kak. Bagaimana untuk menghitung banyaknya kalor yang diperlukan untuk mengubah es menjadi uap?" Rahayu mulai bertanya.
"Sebelum es itu menjadi uap, tentu saja ada perubahan suhu terlebih dahulu pada es dari xoC menjadi 0oC sehingga kita harus menghitungnya Q1 = mes.ces.Dtes. Setelah suhu es mencapai 0oC maka es akan mulai melebur atau mencair, karena itu kita harus menghitung Q2 = mes.Les. Setelah es menjadi air, tentu ia tidak akan langsung menguap tetapi terlebih dahulu mengalami perubahan suhu dari 0oC sampai 100oC, karena itu kita harus menghitung Q3 = mair.cair.Dtair. Nah, setelah mencapai suhu 100oC itu tentu air akan mulai menguap, jadi kita harus menghitung Q4 = mair.Uair. Jadi untuk menghitung banyaknya kalor yang diperlukan untuk mengubah zat padat hingga menjadi uap, seperti es menjadi uap, kita harus menjumlahkan Q1 + Q2 + Q3 + Q4... Bagaimana, paham?"
Rahayu, Ita dan Fuji diam. Mereka berpikir sejenak mencoba memahami penjelasan Aryanti. Tapi tidak lama kemudian Rahayu bertanya lagi. Kali ini bukan pertanyaan yang menuntut penjelasan, tapi sekedar meminta persetujuan.
"Jadi, kak, kalau hanya menghitung banyaknya kalor yang diperlukan untuk meng-ubah air pada suhu tertentu sampai menjadi uap, kita hanya menghitung Q3 dan Q4 saja, maksud saya hanya menghitung Q = mair.cair.Dtair. dan Q = mair.Uair?"
"Benar... Ada lagi pertanyaan?" tanya Aryanti sambil memperhatikan perubahan perangai ketiga adik kelasnya. Melihat ketiganya manggut-manggut tanda mengerti, Aryanti melanjutkan, "Kalau tidak ada lagi pertanyaan, untuk hari ini kakak rasa cukup. Besok kita lanjutkan."
***