Hari belum terlalu sore, baru sekitar pukul 15.00, tapi anak-anak Pramuka dan PMR sudah banyak yang datang ke sekolah. Mereka terlihat begitu bersemangat menghadapi kegiatan ini. Maklum sudah hampir setahun sekolah tidak mengadakan kegiatan persami (perkemahan Sabtu-Minggu), jadi anak-anak sudah teramat rindu akan susana malam di sekolah. Terlebih anak-anak kelas 7, yang baru saja diterima menjadi anggota, tentunya mereka sudah tidak sabar ingin segera merasakan suasana persami, karena bagi mereka kegiatan ini adalah pengalaman camping pertama di sekolah barunya.
Anak-anak pengurus Pramuka dan PMR, yang sudah datang sejak siang tadi, terlihat sibuk mengatur persiapan kegiatan. Di antara mereka ada yang mendata kehadiran anggota sekaligus mengecek perlengkapannya; ada yang mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan api ungun; ada yang berdiskusi menyusun acara untuk nanti malam; ada yang mengecek perlengkapan obat-obatan dan penerangan malam; tapi ada juga yang hanya duduk-duduk saja sambil ngobrol dengan kawannya di taman sekolah. Sesekali terdengar tawa mereka di antara riuh rendah celotehan anak-anak yang lain. Entah apa yang mereka tertawakan. Mungkin dalam percekapan mereka ada sesuatu yang lucu, atau mungkin juga mereka menertawakan tingkah laku temannya yang lain, yang tengah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Suasana sekolah menjadi semakin ramai seiring dengan bergeraknya waktu. Satu persatu anak-anak Pramuka dan PMR berdatangan. Tak terasa, waktu upacara pembukaan persami pun sudah semakin dekat. Tinggal 15 menit lagi acara pembukaan akan dimulai, tepatnya pada pukul 16.30. Dewi dan Bunga terlihat sangat sibuk menjelang upacara pembukaan itu. Maklumlah keduanya menjadi koordinator seksi acara dari masing-masing organisasinya: Dewi dari Pramuka dan Bunga dari PMR.
"Dew, bendara Merah Putih ditaro di mana, ya?" Bunga menepuk pundak Dewi yang tengah memberikan instruksi kepada petugas upacara.
"Lho, kan tadi ada di atas meja, di ruang sekretariat... Emang gak ada?" Dewi balik bertanya.
"Gak ada tuh. Emang tadi ada di sana, tapi waktu aku mo mengambilnya sudah gak ada lagi. Tauk siapa yang ngambil..."
"Coba aja tanyain sama si Galuh, soalnya tadi dia yang beresin meja di sekretariat. Mungkin dia memindahkannya ke tempat lain,"
"Tadi sudah aku tanyain, tapi si Galuh juga gak tauk. Katanya, waktu dia beresin meja gak ada bendera di sana..." Bunga menampakkan wajah kebingungan, apalagi setelah dilihatnya pak Abu Bakar dan pak Setiawan sudah datang, berarti sebentar lagi upacara pembukaan akan segera di mulai.
"Aduh, gimana dong? Tapi sudah kamu tanyain ke temen-temen lain, kali aja ada yang tauk." Dewi memberi saran.
Bunga semakin kebingungan. Tanpa menjawab pertanyaan Dewi, dia bergegas menuju ke tempat teman-temannya yang tengah berdiskusi di ruang kelas 9 A, merumuskan acara buat nanti malam.
"Ada yang liat bendera Merah Putih, gak?" tanya Bunga tiba-tiba, ketika dia masih berada di pintu masuk kelas. Teman-temannya yang tengah serius merancang acara jurit malam saling berpandangan satu sama lain, soalah saling menanyakan. Setelah terdiam beberapa saat kemudian mereka sama-sama menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan bendera itu.
"Sialan!" Desis Bunga sambil berlalu dari ruang kelas itu. Dia bergegas menuju ke ruang sekretariat OSIS, berharap bisa menemukan bendera itu di sana. Tidak diperdulikan lagi rasa lelahnya yang mendera, karena sejak tadi siang dia sudah sibuk menyusun acara, ditambah lagi sekarang harus bolak-balik mencari bendera. Ah, mudah-mudahan bendera itu ada di sana sekarang, harapnya.
"Gimana, Nga, ketemu gak bendera tuh?" tanya Dewi yang berpapasan dengan Bunga di pintu masuk sekretariat.
"Alhamdulillah, ketemu... Aneh, tadi gak ada di atas meja ini. Sudah cape-cape aku nyari kesana kemari, eeh... tauknya masih di atas meja ini. Sialan!" Bunga menjelaskan sambil menunjukkan perasaan heran.
"Ya, mungkin aja tadi kamu kurang teliti..." Dewi menjawab keheranan temannya.
"Masa sih bendera yang segede gini gak keliatan... Bener kok, tadi gak ada di sini," Bunga memberi alasan. Rasanya tidak mungkin dia tidak melihat bendera itu di atas meja, soalnya tadi seluruh ruangan sekretariat sudah diubrak-abriknya, tapi tetap tidak ketemu.
"Ya, sudah! Yang penting sekarang benderanya sudah ketemu... Cepetan ke lapang, pak Abu sudah nunggu tuh!" perintah Dewi. Sebenarnya dia sendiripun merasa heran. Masa’ bendera segede itu bisa hilang tiba-tiba, tapi muncul lagi tiba-tiba. Jangan-jangan di ruangan ini ada..., pikir Dewi sambil bergidik. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri. Hiiihh...!
***
Malam semakin larut. Sebagian anak-anak telah tidur sejak usai acara api ungun tadi, sebagian yang lain masih asyik berbincang dengan teman-temannya di dalam ruang kelas, yang berubah fungsi menjadi kamar tidur. Sementara anak-anak yang kebagian tugas ronda, berjalan mondar-mandir di seputar koridor kelas. Mereka melakukan pengecekan ke setiap kelas, khususnya kelas yang dijadikan ruang tidur putri, takut-takut ada orang iseng masuk sebagai penghuni ilegal. Maklum, jika ada acara persami, banyak anak-anak yang bukan anggota Pramuka atau PMR yang suka ikut nongkrong di sekolah, bahkan tidak sedikit anak-anak dari sekolah lain. Mungkin mereka tengah mencari "mangsa" untuk dijadikan pacar.
Di ruang kelas 9 A, yang dijadikan ruang tidur anak Pramuka dan PMR putri kelas 9, terdengar suara tawa yang tertahan. Pada jam 01.00 ini ternyata mereka masih belum tidur. Mereka masih asyik memperbincangkan kejadian-kejadian seputar kegiatan, mulai dari acara chek in peserta sampai acara api ungun tadi. Biasa, anak-anak ini suka susah tidur kalau sudah ngumpul bareng dengan teman-temannya, selalu saja ada yang diobrolkan. Mungkin ini merupakan kesempatan untuk curhat atau bertukar pengalaman sesama teman, karena jika di rumah biasanya mereka tidur sendirian, paling-paling hanya ditemanin ban-gul, bantal dan guling.
"Eh, tauk gak kalo di sekretariat OSIS itu ada hantunya?" tanya Bunga mengalihkan fokus pembicaraan, setelah tawa teman-temannya reda karena cerita tentang anak kelas 7 yang ketakutan setengah mati waktu jurit malam tadi. Anak itu lari terbirit-birit ketika ditaku-takutin pakai pocong-pocongan yang dibuat dari tongkat kayu, yang dibungkus kain putih. Saking takutnya, sampai-sampai sebelah sepatunya yang terlepas tidak dia hiraukan; diting-galkannya sepatu itu di kebun belakang sekolah.
"Ah elhu, nakut-nakutin aja," sergah Siska sambil beringsut mendekatkan diri ke arah Wulan yang duduk bersila sambil mendekap tas rangselnya.
"Ini bener kok. Kalo gak percaya tanya aja si Dewi," Bunga melirik ke arah Dewi yang duduk dekat Kartika, seolah meminta dukungan pembenaran pada ceritanya.
"Bener, Dew?" Siska penasaran.
Dewi hanya mesem, tidak memberikan jawaban pada pertanyaan Siska. Dia malah merebahkan diri di atas meja seolah-olah tidak tertarik pada cerita hantu itu, padahal dia sendiri sempat bergidig ketakutan waktu di sekretariat tadi sore.
"Ini beneran, lho...Tadi sore, sewaktu aku nyari bendera, bendera itu tiba-tiba saja hilang, gak ada lagi di meja sekretariat, padahal kan sebelumnya aku taro di sana..." Bunga memulai cerita, "Tadi kan kalian tauk, aku bolak-balik kesana-kemari nyariin bendera. Sudah aku cari kemana-mana, tapi tetep gak ketemu. Nah, pas aku balik lagi ke sekretariat, eeh... bendera itu sudah ada lagi di sana. Aneh kan? Pasti deh bendera itu diumpetin hantu...."
"Alaah... paling juga diumpetin si Galuh. Dia kan suka jail ke orang," sergah Wulan, tidak percaya.
"Iyaa... paling-paling diumpetin anak-anak cowok. Mereka kan pada jail-jail," Siska ikut mendukung Wulan, pura-pura tidak percaya, padahal hatinya keder juga.
"Terserah kalian, mo percaya ato nggak. Pokoknya aku sih yakin kalo di sekretariat itu ada hantunya. Hiiihhh..." Bunga bergidig ketakutan.
Diam-diam, anak-anak yang lain pun merasa takut juga mendengar cerita Bunga itu. Lebih-lebih Siska. Badannya yang gembrot semakin dirapatkan ke badan Wulan. Tentu saja Wulan, yang kerempeng, menjadi kerepotan digencet tubuh tambun temannya itu. Memang anak yang satu ini sangat penakut, padahal rumahnya dekat kuburan umum. Bagaimana kalau di rumahnya. Jangan-jangan kalau mau pipis pun, dia pipis di kamar tidur.
Pesst!!! Tiba-tiba lampu ruang kelas 9 A padam, padahal di ruangan yang lain masih terlihat nyala. Kontan saja anak-anak putri yang ada di ruang kelas itu menjerit ketakutan. Bahkan Siska sampai menindih tubuh Wulan, saking takutnya. Tentu saja Wulan meronta-ronta kesesakan. Sementara Dewi yang tadi pura-pura tidur sewaktu Bunga bercerita tentang hantu, lansung bangun dan mendekap Kartika yang duduk dekat pembaringannya.
"Ada apa? Ada apa?" tanya pak Abu Bakar, yang datang bersama pak Setia, tidak lama setelah mendengar jeritan murid-muridnya.
"Ada hantu, pak!" kata Bunga sambil berlari ke arah pak Abu.
"Hantu apaan? Kalian tuh kayak anak kecil aja, percaya sama yang begituan. Mana ada hantu jaman sekarang..." pak Abu menenangkan ketakutan anak-anak asuhannya.
"Bapak sih, gak percaya... Buktinya, lampu ruangan ini mati dengan tiba-tiba. Pasti dimatiin jurig," Siska memberi alasan.
"Ah, kalian ini ada-ada saja. Itu sih, paling juga lampunya putus," pak Setia meyakin-kan anak-anak asuhannya. Lalu lanjutnya, "Coba bapak periksa lampunya."
Pak Setia menaikan kursi ke atas meja, kemudian dia sendiri menaiki kursi tersebut untuk memeriksa lampu yang mati di ruangan itu. Setelah lampu itu dicopot dari pitingnya, lalu diperiksanya lampu tersebut. Lama juga pak Setia meneliti keadaan lampu itu. Dibolak-baliknya lampu itu sambil diterangi lampu senter yang dipegang tangan kanannya. Aneh, lampunya tidak putus tapi kok bisa mati? pikirnya.
"Gimana, Set, benar lampunya putus?" pak Abu menanyakan keadaan lampu yang masih dibolak-balik pak Setia.
"Aneh, lampunya tidak putus, tapi kok bisa mati, ya?" tanya pak Setia, seperti berta-nya pada dirinya sendiri.
"Yaa... paling-paling instalasinya ada yang putus. Di atap kan banyak tikus. Mungkin kabelnya putus digigit tikus..." jelas pak Abu yakin.
"Kami gimana dong, pak? Di sini kan gelap, kami takut!" Dewi menanyakan keadaan mereka selanjutnya.
"Kalau kalian takut, pindah saja, bergabung dengan anak kelas 8 di ruangan sebelah. Tapi kalau kalian tidak mau, tidur saja disini. Untuk penerangannya kan bisa menggunakan lilin," saran pak Abu.
"Kami di sini saja, pak... Tapi minta ditemenin sama bapak," pinta Bunga manja.
"Ya, sudah, bapak tinggal di sini sama pak Setia. Sekarang, kalian lekas tidur. Sudah jam tiga tuh!" perintah pak Abu.
Anak-anak pun segera merebahkan diri di atas meja, yang berubah fungsi jadi tempat tidur. Mereka pura-pura memejamkan mata, padahal dalam pikiran mereka masih dihantui perasan takut. Jangan-jangan memang di kelas ini ada hantunya, pikir mereka.
***
Siang itu, sewaktu istirahat sekolah, siswa SMP ramai membicarakan hantu yang ada di ruang kelas 9 A. Cerita tentang hantu ini cepat menyebar dari mulut ke mulut. Entah siapa yang pertama kali menceritakan hantu itu ke anak-anak yang lain, tahu-tahu semua siswa sudah mengetahui kalau anak-anak Pramuka dan PMR yang tidur di kelas itu waktu persami, digangguin hantu. Karuan saja, banyak anak-anak kelas 8 A menjadi ketakutan. Mereka tidak berani lagi berada di kelas itu sendirian. Hanya satu dua saja yang nampak berani dan menganggap cerita itu hanya isapan jempol belaka. Mana ada sih hantu gentayangan, orang yang sudah mati pasti tidak bakalan hidup lagi, pikir mereka.
Galuh, anak kelas 9 A yang pemberani, terlihat asyik membaca komik Detektif Conan di dalam kelas. Dia tidak begitu perduli dengan cerita hantu itu. Baginya, pemecahan kasus-kasus yang dilakukan Shimici Koudo lebih menarik daripada cerita tentang hal-hal klenik. Menurutnya, hantu itu hanya ada dalam cerita-cerita fiksi atau di film-film horor, yang sengaja dibuat untuk membuat tegang perasaan manusia yang membaca atau menontonnya.
Sambil asyik membaca, fikirannya melayang memikirkan rencana untuk memecahkan kasus tentang hantu itu. Dia sangat penasaran pada kasus yang telah menggegerkan seisi sekolahnya itu. Apalagi, menurut informasi yang dia peroleh dari pak Abu Bakar, listrik di kelasnya tiba-tiba saja mati tanpa ada satupun lampunya yang putus. Aneh, pikirnya. Tapi justru semakin ganjil kejadiannya, semakin penasaran dia untuk memecahkannya. Karena itu dia berencana, sepulang sekolah nanti, dia akan naik ke atap kelasnya untuk memeriksa saluran instalasi listrik yang ada di sana. Dia merasa yakin, pasti ada yang tidak beres dengan instalasinya, bukan karena hantu.
"Luh, kamu dipanggil Bunga, tuh. Katanya cerpen untuk mading tuh udah selesai belon?" Dewi, yang baru masuk ke kelas, membuyarkan konsentrasinya.
"Bunganya ada di mana?" Galuh menanyakan keberadaan temannya yang sama-sama pengurus majalah dinding sekolah. Dia memang telah berjanji akan memberikan cerpennya hari ini.
"Tadi aku ketemu dia di kantin. Katanya, sepulang sekolah kamu harus nemuin dia di perpus, sekalian mo ngebahas edisi mading minggu depan." jawab Dewi.
"Iya deh. Nanti aku nemuin dia," balas Galuh, tak acuh. Dia malah semakin serius membaca Detektif Conannya.
"Eh, cerpennya tentang apaan? Kok, aku gak tauk sih kalo kamu suka bikin cerpen? Emang kamu suka pake nama samaran apaan?" tanya Dewi sambil mendekat ke arah tempat duduk Galuh. Lalu dengan santainya dia duduk di atas meja yang di pakai Galuh untuk membaca Detektif Conan.
"Hantu..." kata Galuh asal.
"Hiiih, kamu nakut-nakutin aja," Dewi bergidik. "Masa’ sih ceritanya tentang gituan? Yang romantis, dong, biar kita-kita seneng ngebacanya."
"Dasar ganjen, lhu. Cerita romantis tuh udah banyak di majalah juga, baca aja sana. Lagian aku gak bisa bikin cerita gituan, soalnya belum ngerasain sih," balas Galuh jujur.
"Lho, kamu belum ngerasain toh? Aduuh... kacian deh lhu! Gimana, sama aku mau gak?" Dewi menggoda, matanya dikedip-kedipkan sebelah sambil cengengesan.
"Boleh tuh. Kapan kita mulai?" Galuh balas menggoda.
"Gimana kalo sekarang?"
"Boleh. Di mana?"
"Ya, di sini, dong!"
"Gila, lhu... Entar orang-orang pada ngeliat!" Galuh memukulkan komiknya ke kaki Dewi yang terjuntai ke kursi di sampingnya.
Keduanya tertawa sambil berpandangan. Tawa mereka baru terhenti ketika teman-temannya mulai masuk kelas satu persatu. Mereka khawatir ada persangkaan yang macam-macam dari teman-temannya. Maklum, anak-anak jaman sekarang lebih suka gosip daripada pelajaran.
***
Udara terasa panas siang itu, tapi tak menyurutkan Galuh untuk naik ke langit-langit kelasnya untuk memeriksa keadaan instalasi listrik di sana. Sejak pelajaran terakhir berlang-sung, pikirannya sudah menerawang, menyusun rencana yang akan ia lakukan sepulang sekolah nanti. Dalam pikirannya hanya satu: harus memecahkan kasus hantu itu sendirian! Dia tidak ingin melibatkan banyak orang, karena biasanya kalau orang lain sudah ikut terlibat maka pikirannya menjadi tidak terfokus, selalu saja terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan temannya.
Tapi tadi di ruang perpustakaan, ketika dia menemui Bunga, siswa cantik anak kelas 9.D, dia terpaksa harus meubah keputusannya untuk menyelidiki kasus itu sendirian, karena Bunga ngotot ingin dilibatkan dalam pemecahan kasus hantu itu, setelah tadi dia meceritakan rencananya. Dewi, yang ikut menemaninya, juga ikut-ikutan ingin menyelidiki. Kacau!, pikirnya. Menyesal juga dia menceritakan rencananya itu. Kalau saja Bunga tidak melotot dan Dewi tidak cemberut, pasti dia akan menolak keras keikut-sertaan mereka. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya dia pun harus rela ditemani dua perempuan cantik yang "kaogo" dan penakut ini. Aneh juga, anak-anak penakut ini mau ikut menyelidiki kasus hantu yang menghebohkan itu, pikirnya.
"Gimana, Luh, udah ketemu belum?" teriak Bunga, yang menunggu di bawah dengan Dewi, menanyakan hasil temuan Galuh yang tengah menyelidiki instalasi listrik di kelas 9.A.
"Belum. Di atas sini agak gelap nih. Aku harus geserin genteng dulu, biar terang," jawab Galuh sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
"Hati-hati ya, Luh. Awas jangan sampe kena strum, bisa mati kamu nanti," Dewi mengingatkan, khawatir terjadi apa-apa pada Galuh.
"Tenanglah, sayang... Jangan khawatir, abang pasti hati-hati," canda Galuh.
"Huuh..., ganjen lhu," balas Dewi sambil cemberut, tapi wajahnya memerah juga karena malu, soalnya di dekatnya ada Bunga, kakak kelasnya.
Udara yang tengah panas, tentu semakin panas jika berada di langit-langit kelas. Tapi Galuh tidak menghiraukan keadaan udara panas dan pengap yang menggoreng tubuhnya. Dia terus menyusuri kabel-kabel listrik yang warnanya sudah tidak begitu terlihat karena tertutup debu. Satu-persatu ditelitinya kabel itu. Dibersihkannya debu-debu yang menutupi kabel itu supaya warnanya kelihatan. Dia tahu warna kabel yang harus dia selidiki: Merah. Karena bapaknya pernah mengajarkan bagaimana memasang instalasi listrik ketika rumah-nya direnovasi. Bapaknya pernah menjelaskan: warna merah atau biru itu untuk listrik, warna hitam untuk masa sedangkan warna kuning untuk ground. Warna hitam dan kuning bisa saja disatukan karena pada dasarnya sama-sama berfungsi sebagai saluran untuk masa. Tapi jangan sekali-kali menyatukan warna yang mengandung masa dengan warna yang mengan-dung listrik karena bisa mengakibatkan konsleting. Begitu keterang bapaknya.
Agak lama juga Galuh menelusuri kabel listrik itu. Dia cukup kesulitan untuk meme-riksa kabel-kabel, yang membentang cukup panjang dari arah tempat saklar ke arah tempat piting lampu, karena warna kabel yang sudah tidak begitu jelas, ditambah penerangan di dalam atap yang gelap. Sudah hampir 10 menit dia memeriksa kabel-kabel itu, tapi belum juga ditemukan pangkal masalahnya. Aneh, pikirnya. Sepertinya kabel-kabel itu tidak ada yang putus. Semuanya terlhat normal. Jangan-jangan memang karena..., pikirnya. Tapi segera dibuangnya jauh-jauh pikiran yang tidak masuk akal itu. Lalu ditelusurinya kabel-kabel itu sekali lagi untuk memastikan bahwa dia tidak melewatkan suatu apapun. Tapi sekalipun diteliti ulang, tetap saja dia tidak menemukan adanya kejanggalan pada kabel-kabel listrik itu. Akhirnya diapun menyerah untuk kali ini. Tapi dia bertekad, nanti sore dia harus kembali lagi untuk memeriksa kabel-kabel itu sekali lagi. Kasus ini harus dipecahkan! Tekadnya.
"Gimana, Luh, berhasil?" Dewi menanyakan hasil penyelidikan ketika Galuh baru saja menginjakkan kakinya di lantai kelas.
"Lumayan..." jawab Galuh asal sambil menepuk-nepuk kaos dalamnya yang kotor terkena debu dan sarang laba-laba.
"Lumayan gimana?" kejar Dewi penasaran.
"Bener, ada yang putus?" Bunga penasaran ingin tahu hasilnya.
"Belum semua aku teliti sih, soalnya di atas gelap banget..." Galuh berbohong untuk menghindari ketakutan teman-temannya jika dia menceritakan hal yang sebenarnya.
"Jadi...?" kejar Bunga.
"Yaa... besoklah kita lanjutkan. Besok aku bawa senter dan test pen untuk memasti-kan saluran mana yang putus," jawab Galuh sambil mengenakan baju seragam putihnya karena sewaktu naik ke atap tadi bajunya dia buka.
"Ya, udah. Sekarang kita pulang aja, yuk. Aku takut berlama-lama di sini," ajak Dewi, bersiap untuk meninggalkan kelas.
Akhirnya mereka meninggalkan ruang kelas 9.A yang masih menyimpan misteri, terlebih bagi Galuh yang belum berhasil menemukan penyebab yang mengakibatkan matinya lampu di ruang kelasnya. Sepanjang perjalanan pulang itu pikirannya terus bekerja, menerawang pada keadaan di atap tadi. Otaknya berpikir keras mencari apakah dia melewatkan sesuatu dalam penyelidikannya tadi, atau tidak. Tidak dihiraukannya celotehan Dewi dan Bunga yang bercerita seputar kejadian lucu waktu persami kemarin. Cukup lama dia tercenung, memikir-kan penyelidikannya tadi. Lalu tiba-tiba. Aha! Pikirnya. Galuh tersenyum sendiri. Sepertinya dia telah menemukan jawaban yang dia cari.
***
Pagi itu Dewi nampak gelisah. Sebentar-bentar dia melongokkan badannya ke luar kelas. Tapi tak lama kemudian dia sudah masuk lagi, lalu duduk dibangkunya yang berse-belahan dengan pintu masuk kelas. Di lihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan-nya yang putih berbulu lembut. Sudah hampir jam tujuh? Gumamnya. Tapi yang ditunggunya belum juga menampakkan batang hidung.
"Ada apa sih, Dew? Dari tadi aku perhatiin kamu melongok ke luar terus, seperti tengah menunggu seseorang?" tanya Yanti, yang duduk di belakang bangku Dewi.
"Gak, cuma nungguin si... Nah, itu dia orangnya baru nongol," Dewi tidak jadi menye-butkan nama orang yang sedang ditunggunya, tapi sebagai jawabannya dia menunjuk ke arah seseorang yang tengah berjalan menuju ke arah kelasnya.
"Gimana, Luh, sudah ketemu trouble-nya?" tanya Dewi ketika Galuh baru saja memasuki ruang kelas.
Galuh membisu. Dia terus saja melangkah menuju ke arah bangku tempat duduknya tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi.
"Kemarin sore tuh, jadi gak kamu kesini lagi?" Dewi terus mengejar Galuh dengan pertanyaan sambil menjajari langkahnya.
"Jadi," jawab Galuh singkat.
"Trus, gimana hasilnya? Berhasil?" Dewi semakin penasaran.
"Nanti lah, istirahat aku cerita. Sebentar lagi kan masuk,"
"Ah, aku pingin sekarang. Waktu masuk kan masih lama, sepuluh menit lagi," rengek Dewi sambil duduk di samping Galuh.
"Aku kan baru datang, Dew. Nanti aja ceritanya," Galuh memberi alasan. Dia tidak ingin menceritakannya sekarang. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan hasil temuannya, selain karena dia masih capek karena baru saja sampai, juga tidak lama lagi waktu pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Ayolah, sayang, pliiss..." rayu Dewi. Wajahnya yang cantik dibikin memelas.
"Kamu ini, Dew, suka maksa orang," Galuh sedikit kesal, tapi tak urung hatinya luluh juga melihat wajah temannya yang memelas. "Begini...," Lanjutnya sambil menggeser tempat duduk, menghadap ke arah Dewi. "setelah aku selidiki kemarin sore, ternyata instalasi listrik dari ruang perpus ke kelas kita ada yang putus. Keliahatannya sih, tergeser oleh sesuatu, mungkin sama tikus, soalnya sambungannya tidak kuat, hanya dicantelin doang."
"Tapi kok, ke ruang sebelah, gak ikut mati?" tanya Dewi tidak mengerti.
"Jalur listrik yang ke kelas 9.B itu terpisah dengan jalur yang ke kelas kita. Saluran listrik kelas 9.B itu satu jalur dengan kelas 9.C, sedangkan kelas kita satu jalur dengan ruang perpus. Kamu lihat kan di dekat pintu ruang perpus ada dua MCB. Nah, MCB itu yang satu untuk saluran listrik ke perpus dan kelas kita, dan yang satunya lagi untuk saluran ke kelas 9.B dan kelas 9.C," jelas Galuh detail.
"O, jadi lampu mati itu bukan karena ada hantu, ya?"
"Kamu ini, Dew, kayak gak belajar Agama aja. Mana ada sih, orang mati hidup lagi? Lagian hantu itu hanya imajinasi orang-orang penakut, kayak kamu," Galuh menjawel hidung bangir Dewi.
"Siapa yang penakut? Aku tuh bukan takut sama hantu, tapi takut sama gelap," Dewi berdalih. Mulutnya yang manis, dibikin cemberut.
"Iya, deh, iyaa... Eh, tuh ada hantu lewat," Galuh menunjuk ke arah pintu kelas.
"Mana? Mana?" Dewi hampir saja loncat, ketakutan. Tapi setelah dilihatnya tidak ada apa-apa di sana. Tahulah dia, kalau Galuh hanya menakut-nakutinya.
"Sialan, lhu! Hampir aja jantung aku copot," sambungnya sambil memukul lengan Galuh. Matanya yang indah hampir keluar, melotot ke arah Galuh.
"Huh, dasar penakut!"
Cikembar, 27/10/2005
Anak-anak pengurus Pramuka dan PMR, yang sudah datang sejak siang tadi, terlihat sibuk mengatur persiapan kegiatan. Di antara mereka ada yang mendata kehadiran anggota sekaligus mengecek perlengkapannya; ada yang mengumpulkan kayu bakar untuk persiapan api ungun; ada yang berdiskusi menyusun acara untuk nanti malam; ada yang mengecek perlengkapan obat-obatan dan penerangan malam; tapi ada juga yang hanya duduk-duduk saja sambil ngobrol dengan kawannya di taman sekolah. Sesekali terdengar tawa mereka di antara riuh rendah celotehan anak-anak yang lain. Entah apa yang mereka tertawakan. Mungkin dalam percekapan mereka ada sesuatu yang lucu, atau mungkin juga mereka menertawakan tingkah laku temannya yang lain, yang tengah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Suasana sekolah menjadi semakin ramai seiring dengan bergeraknya waktu. Satu persatu anak-anak Pramuka dan PMR berdatangan. Tak terasa, waktu upacara pembukaan persami pun sudah semakin dekat. Tinggal 15 menit lagi acara pembukaan akan dimulai, tepatnya pada pukul 16.30. Dewi dan Bunga terlihat sangat sibuk menjelang upacara pembukaan itu. Maklumlah keduanya menjadi koordinator seksi acara dari masing-masing organisasinya: Dewi dari Pramuka dan Bunga dari PMR.
"Dew, bendara Merah Putih ditaro di mana, ya?" Bunga menepuk pundak Dewi yang tengah memberikan instruksi kepada petugas upacara.
"Lho, kan tadi ada di atas meja, di ruang sekretariat... Emang gak ada?" Dewi balik bertanya.
"Gak ada tuh. Emang tadi ada di sana, tapi waktu aku mo mengambilnya sudah gak ada lagi. Tauk siapa yang ngambil..."
"Coba aja tanyain sama si Galuh, soalnya tadi dia yang beresin meja di sekretariat. Mungkin dia memindahkannya ke tempat lain,"
"Tadi sudah aku tanyain, tapi si Galuh juga gak tauk. Katanya, waktu dia beresin meja gak ada bendera di sana..." Bunga menampakkan wajah kebingungan, apalagi setelah dilihatnya pak Abu Bakar dan pak Setiawan sudah datang, berarti sebentar lagi upacara pembukaan akan segera di mulai.
"Aduh, gimana dong? Tapi sudah kamu tanyain ke temen-temen lain, kali aja ada yang tauk." Dewi memberi saran.
Bunga semakin kebingungan. Tanpa menjawab pertanyaan Dewi, dia bergegas menuju ke tempat teman-temannya yang tengah berdiskusi di ruang kelas 9 A, merumuskan acara buat nanti malam.
"Ada yang liat bendera Merah Putih, gak?" tanya Bunga tiba-tiba, ketika dia masih berada di pintu masuk kelas. Teman-temannya yang tengah serius merancang acara jurit malam saling berpandangan satu sama lain, soalah saling menanyakan. Setelah terdiam beberapa saat kemudian mereka sama-sama menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui keberadaan bendera itu.
"Sialan!" Desis Bunga sambil berlalu dari ruang kelas itu. Dia bergegas menuju ke ruang sekretariat OSIS, berharap bisa menemukan bendera itu di sana. Tidak diperdulikan lagi rasa lelahnya yang mendera, karena sejak tadi siang dia sudah sibuk menyusun acara, ditambah lagi sekarang harus bolak-balik mencari bendera. Ah, mudah-mudahan bendera itu ada di sana sekarang, harapnya.
"Gimana, Nga, ketemu gak bendera tuh?" tanya Dewi yang berpapasan dengan Bunga di pintu masuk sekretariat.
"Alhamdulillah, ketemu... Aneh, tadi gak ada di atas meja ini. Sudah cape-cape aku nyari kesana kemari, eeh... tauknya masih di atas meja ini. Sialan!" Bunga menjelaskan sambil menunjukkan perasaan heran.
"Ya, mungkin aja tadi kamu kurang teliti..." Dewi menjawab keheranan temannya.
"Masa sih bendera yang segede gini gak keliatan... Bener kok, tadi gak ada di sini," Bunga memberi alasan. Rasanya tidak mungkin dia tidak melihat bendera itu di atas meja, soalnya tadi seluruh ruangan sekretariat sudah diubrak-abriknya, tapi tetap tidak ketemu.
"Ya, sudah! Yang penting sekarang benderanya sudah ketemu... Cepetan ke lapang, pak Abu sudah nunggu tuh!" perintah Dewi. Sebenarnya dia sendiripun merasa heran. Masa’ bendera segede itu bisa hilang tiba-tiba, tapi muncul lagi tiba-tiba. Jangan-jangan di ruangan ini ada..., pikir Dewi sambil bergidik. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri. Hiiihh...!
***
Malam semakin larut. Sebagian anak-anak telah tidur sejak usai acara api ungun tadi, sebagian yang lain masih asyik berbincang dengan teman-temannya di dalam ruang kelas, yang berubah fungsi menjadi kamar tidur. Sementara anak-anak yang kebagian tugas ronda, berjalan mondar-mandir di seputar koridor kelas. Mereka melakukan pengecekan ke setiap kelas, khususnya kelas yang dijadikan ruang tidur putri, takut-takut ada orang iseng masuk sebagai penghuni ilegal. Maklum, jika ada acara persami, banyak anak-anak yang bukan anggota Pramuka atau PMR yang suka ikut nongkrong di sekolah, bahkan tidak sedikit anak-anak dari sekolah lain. Mungkin mereka tengah mencari "mangsa" untuk dijadikan pacar.
Di ruang kelas 9 A, yang dijadikan ruang tidur anak Pramuka dan PMR putri kelas 9, terdengar suara tawa yang tertahan. Pada jam 01.00 ini ternyata mereka masih belum tidur. Mereka masih asyik memperbincangkan kejadian-kejadian seputar kegiatan, mulai dari acara chek in peserta sampai acara api ungun tadi. Biasa, anak-anak ini suka susah tidur kalau sudah ngumpul bareng dengan teman-temannya, selalu saja ada yang diobrolkan. Mungkin ini merupakan kesempatan untuk curhat atau bertukar pengalaman sesama teman, karena jika di rumah biasanya mereka tidur sendirian, paling-paling hanya ditemanin ban-gul, bantal dan guling.
"Eh, tauk gak kalo di sekretariat OSIS itu ada hantunya?" tanya Bunga mengalihkan fokus pembicaraan, setelah tawa teman-temannya reda karena cerita tentang anak kelas 7 yang ketakutan setengah mati waktu jurit malam tadi. Anak itu lari terbirit-birit ketika ditaku-takutin pakai pocong-pocongan yang dibuat dari tongkat kayu, yang dibungkus kain putih. Saking takutnya, sampai-sampai sebelah sepatunya yang terlepas tidak dia hiraukan; diting-galkannya sepatu itu di kebun belakang sekolah.
"Ah elhu, nakut-nakutin aja," sergah Siska sambil beringsut mendekatkan diri ke arah Wulan yang duduk bersila sambil mendekap tas rangselnya.
"Ini bener kok. Kalo gak percaya tanya aja si Dewi," Bunga melirik ke arah Dewi yang duduk dekat Kartika, seolah meminta dukungan pembenaran pada ceritanya.
"Bener, Dew?" Siska penasaran.
Dewi hanya mesem, tidak memberikan jawaban pada pertanyaan Siska. Dia malah merebahkan diri di atas meja seolah-olah tidak tertarik pada cerita hantu itu, padahal dia sendiri sempat bergidig ketakutan waktu di sekretariat tadi sore.
"Ini beneran, lho...Tadi sore, sewaktu aku nyari bendera, bendera itu tiba-tiba saja hilang, gak ada lagi di meja sekretariat, padahal kan sebelumnya aku taro di sana..." Bunga memulai cerita, "Tadi kan kalian tauk, aku bolak-balik kesana-kemari nyariin bendera. Sudah aku cari kemana-mana, tapi tetep gak ketemu. Nah, pas aku balik lagi ke sekretariat, eeh... bendera itu sudah ada lagi di sana. Aneh kan? Pasti deh bendera itu diumpetin hantu...."
"Alaah... paling juga diumpetin si Galuh. Dia kan suka jail ke orang," sergah Wulan, tidak percaya.
"Iyaa... paling-paling diumpetin anak-anak cowok. Mereka kan pada jail-jail," Siska ikut mendukung Wulan, pura-pura tidak percaya, padahal hatinya keder juga.
"Terserah kalian, mo percaya ato nggak. Pokoknya aku sih yakin kalo di sekretariat itu ada hantunya. Hiiihhh..." Bunga bergidig ketakutan.
Diam-diam, anak-anak yang lain pun merasa takut juga mendengar cerita Bunga itu. Lebih-lebih Siska. Badannya yang gembrot semakin dirapatkan ke badan Wulan. Tentu saja Wulan, yang kerempeng, menjadi kerepotan digencet tubuh tambun temannya itu. Memang anak yang satu ini sangat penakut, padahal rumahnya dekat kuburan umum. Bagaimana kalau di rumahnya. Jangan-jangan kalau mau pipis pun, dia pipis di kamar tidur.
Pesst!!! Tiba-tiba lampu ruang kelas 9 A padam, padahal di ruangan yang lain masih terlihat nyala. Kontan saja anak-anak putri yang ada di ruang kelas itu menjerit ketakutan. Bahkan Siska sampai menindih tubuh Wulan, saking takutnya. Tentu saja Wulan meronta-ronta kesesakan. Sementara Dewi yang tadi pura-pura tidur sewaktu Bunga bercerita tentang hantu, lansung bangun dan mendekap Kartika yang duduk dekat pembaringannya.
"Ada apa? Ada apa?" tanya pak Abu Bakar, yang datang bersama pak Setia, tidak lama setelah mendengar jeritan murid-muridnya.
"Ada hantu, pak!" kata Bunga sambil berlari ke arah pak Abu.
"Hantu apaan? Kalian tuh kayak anak kecil aja, percaya sama yang begituan. Mana ada hantu jaman sekarang..." pak Abu menenangkan ketakutan anak-anak asuhannya.
"Bapak sih, gak percaya... Buktinya, lampu ruangan ini mati dengan tiba-tiba. Pasti dimatiin jurig," Siska memberi alasan.
"Ah, kalian ini ada-ada saja. Itu sih, paling juga lampunya putus," pak Setia meyakin-kan anak-anak asuhannya. Lalu lanjutnya, "Coba bapak periksa lampunya."
Pak Setia menaikan kursi ke atas meja, kemudian dia sendiri menaiki kursi tersebut untuk memeriksa lampu yang mati di ruangan itu. Setelah lampu itu dicopot dari pitingnya, lalu diperiksanya lampu tersebut. Lama juga pak Setia meneliti keadaan lampu itu. Dibolak-baliknya lampu itu sambil diterangi lampu senter yang dipegang tangan kanannya. Aneh, lampunya tidak putus tapi kok bisa mati? pikirnya.
"Gimana, Set, benar lampunya putus?" pak Abu menanyakan keadaan lampu yang masih dibolak-balik pak Setia.
"Aneh, lampunya tidak putus, tapi kok bisa mati, ya?" tanya pak Setia, seperti berta-nya pada dirinya sendiri.
"Yaa... paling-paling instalasinya ada yang putus. Di atap kan banyak tikus. Mungkin kabelnya putus digigit tikus..." jelas pak Abu yakin.
"Kami gimana dong, pak? Di sini kan gelap, kami takut!" Dewi menanyakan keadaan mereka selanjutnya.
"Kalau kalian takut, pindah saja, bergabung dengan anak kelas 8 di ruangan sebelah. Tapi kalau kalian tidak mau, tidur saja disini. Untuk penerangannya kan bisa menggunakan lilin," saran pak Abu.
"Kami di sini saja, pak... Tapi minta ditemenin sama bapak," pinta Bunga manja.
"Ya, sudah, bapak tinggal di sini sama pak Setia. Sekarang, kalian lekas tidur. Sudah jam tiga tuh!" perintah pak Abu.
Anak-anak pun segera merebahkan diri di atas meja, yang berubah fungsi jadi tempat tidur. Mereka pura-pura memejamkan mata, padahal dalam pikiran mereka masih dihantui perasan takut. Jangan-jangan memang di kelas ini ada hantunya, pikir mereka.
***
Siang itu, sewaktu istirahat sekolah, siswa SMP ramai membicarakan hantu yang ada di ruang kelas 9 A. Cerita tentang hantu ini cepat menyebar dari mulut ke mulut. Entah siapa yang pertama kali menceritakan hantu itu ke anak-anak yang lain, tahu-tahu semua siswa sudah mengetahui kalau anak-anak Pramuka dan PMR yang tidur di kelas itu waktu persami, digangguin hantu. Karuan saja, banyak anak-anak kelas 8 A menjadi ketakutan. Mereka tidak berani lagi berada di kelas itu sendirian. Hanya satu dua saja yang nampak berani dan menganggap cerita itu hanya isapan jempol belaka. Mana ada sih hantu gentayangan, orang yang sudah mati pasti tidak bakalan hidup lagi, pikir mereka.
Galuh, anak kelas 9 A yang pemberani, terlihat asyik membaca komik Detektif Conan di dalam kelas. Dia tidak begitu perduli dengan cerita hantu itu. Baginya, pemecahan kasus-kasus yang dilakukan Shimici Koudo lebih menarik daripada cerita tentang hal-hal klenik. Menurutnya, hantu itu hanya ada dalam cerita-cerita fiksi atau di film-film horor, yang sengaja dibuat untuk membuat tegang perasaan manusia yang membaca atau menontonnya.
Sambil asyik membaca, fikirannya melayang memikirkan rencana untuk memecahkan kasus tentang hantu itu. Dia sangat penasaran pada kasus yang telah menggegerkan seisi sekolahnya itu. Apalagi, menurut informasi yang dia peroleh dari pak Abu Bakar, listrik di kelasnya tiba-tiba saja mati tanpa ada satupun lampunya yang putus. Aneh, pikirnya. Tapi justru semakin ganjil kejadiannya, semakin penasaran dia untuk memecahkannya. Karena itu dia berencana, sepulang sekolah nanti, dia akan naik ke atap kelasnya untuk memeriksa saluran instalasi listrik yang ada di sana. Dia merasa yakin, pasti ada yang tidak beres dengan instalasinya, bukan karena hantu.
"Luh, kamu dipanggil Bunga, tuh. Katanya cerpen untuk mading tuh udah selesai belon?" Dewi, yang baru masuk ke kelas, membuyarkan konsentrasinya.
"Bunganya ada di mana?" Galuh menanyakan keberadaan temannya yang sama-sama pengurus majalah dinding sekolah. Dia memang telah berjanji akan memberikan cerpennya hari ini.
"Tadi aku ketemu dia di kantin. Katanya, sepulang sekolah kamu harus nemuin dia di perpus, sekalian mo ngebahas edisi mading minggu depan." jawab Dewi.
"Iya deh. Nanti aku nemuin dia," balas Galuh, tak acuh. Dia malah semakin serius membaca Detektif Conannya.
"Eh, cerpennya tentang apaan? Kok, aku gak tauk sih kalo kamu suka bikin cerpen? Emang kamu suka pake nama samaran apaan?" tanya Dewi sambil mendekat ke arah tempat duduk Galuh. Lalu dengan santainya dia duduk di atas meja yang di pakai Galuh untuk membaca Detektif Conan.
"Hantu..." kata Galuh asal.
"Hiiih, kamu nakut-nakutin aja," Dewi bergidik. "Masa’ sih ceritanya tentang gituan? Yang romantis, dong, biar kita-kita seneng ngebacanya."
"Dasar ganjen, lhu. Cerita romantis tuh udah banyak di majalah juga, baca aja sana. Lagian aku gak bisa bikin cerita gituan, soalnya belum ngerasain sih," balas Galuh jujur.
"Lho, kamu belum ngerasain toh? Aduuh... kacian deh lhu! Gimana, sama aku mau gak?" Dewi menggoda, matanya dikedip-kedipkan sebelah sambil cengengesan.
"Boleh tuh. Kapan kita mulai?" Galuh balas menggoda.
"Gimana kalo sekarang?"
"Boleh. Di mana?"
"Ya, di sini, dong!"
"Gila, lhu... Entar orang-orang pada ngeliat!" Galuh memukulkan komiknya ke kaki Dewi yang terjuntai ke kursi di sampingnya.
Keduanya tertawa sambil berpandangan. Tawa mereka baru terhenti ketika teman-temannya mulai masuk kelas satu persatu. Mereka khawatir ada persangkaan yang macam-macam dari teman-temannya. Maklum, anak-anak jaman sekarang lebih suka gosip daripada pelajaran.
***
Udara terasa panas siang itu, tapi tak menyurutkan Galuh untuk naik ke langit-langit kelasnya untuk memeriksa keadaan instalasi listrik di sana. Sejak pelajaran terakhir berlang-sung, pikirannya sudah menerawang, menyusun rencana yang akan ia lakukan sepulang sekolah nanti. Dalam pikirannya hanya satu: harus memecahkan kasus hantu itu sendirian! Dia tidak ingin melibatkan banyak orang, karena biasanya kalau orang lain sudah ikut terlibat maka pikirannya menjadi tidak terfokus, selalu saja terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan temannya.
Tapi tadi di ruang perpustakaan, ketika dia menemui Bunga, siswa cantik anak kelas 9.D, dia terpaksa harus meubah keputusannya untuk menyelidiki kasus itu sendirian, karena Bunga ngotot ingin dilibatkan dalam pemecahan kasus hantu itu, setelah tadi dia meceritakan rencananya. Dewi, yang ikut menemaninya, juga ikut-ikutan ingin menyelidiki. Kacau!, pikirnya. Menyesal juga dia menceritakan rencananya itu. Kalau saja Bunga tidak melotot dan Dewi tidak cemberut, pasti dia akan menolak keras keikut-sertaan mereka. Tapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Akhirnya dia pun harus rela ditemani dua perempuan cantik yang "kaogo" dan penakut ini. Aneh juga, anak-anak penakut ini mau ikut menyelidiki kasus hantu yang menghebohkan itu, pikirnya.
"Gimana, Luh, udah ketemu belum?" teriak Bunga, yang menunggu di bawah dengan Dewi, menanyakan hasil temuan Galuh yang tengah menyelidiki instalasi listrik di kelas 9.A.
"Belum. Di atas sini agak gelap nih. Aku harus geserin genteng dulu, biar terang," jawab Galuh sambil menyeka keringat yang membasahi wajahnya.
"Hati-hati ya, Luh. Awas jangan sampe kena strum, bisa mati kamu nanti," Dewi mengingatkan, khawatir terjadi apa-apa pada Galuh.
"Tenanglah, sayang... Jangan khawatir, abang pasti hati-hati," canda Galuh.
"Huuh..., ganjen lhu," balas Dewi sambil cemberut, tapi wajahnya memerah juga karena malu, soalnya di dekatnya ada Bunga, kakak kelasnya.
Udara yang tengah panas, tentu semakin panas jika berada di langit-langit kelas. Tapi Galuh tidak menghiraukan keadaan udara panas dan pengap yang menggoreng tubuhnya. Dia terus menyusuri kabel-kabel listrik yang warnanya sudah tidak begitu terlihat karena tertutup debu. Satu-persatu ditelitinya kabel itu. Dibersihkannya debu-debu yang menutupi kabel itu supaya warnanya kelihatan. Dia tahu warna kabel yang harus dia selidiki: Merah. Karena bapaknya pernah mengajarkan bagaimana memasang instalasi listrik ketika rumah-nya direnovasi. Bapaknya pernah menjelaskan: warna merah atau biru itu untuk listrik, warna hitam untuk masa sedangkan warna kuning untuk ground. Warna hitam dan kuning bisa saja disatukan karena pada dasarnya sama-sama berfungsi sebagai saluran untuk masa. Tapi jangan sekali-kali menyatukan warna yang mengandung masa dengan warna yang mengan-dung listrik karena bisa mengakibatkan konsleting. Begitu keterang bapaknya.
Agak lama juga Galuh menelusuri kabel listrik itu. Dia cukup kesulitan untuk meme-riksa kabel-kabel, yang membentang cukup panjang dari arah tempat saklar ke arah tempat piting lampu, karena warna kabel yang sudah tidak begitu jelas, ditambah penerangan di dalam atap yang gelap. Sudah hampir 10 menit dia memeriksa kabel-kabel itu, tapi belum juga ditemukan pangkal masalahnya. Aneh, pikirnya. Sepertinya kabel-kabel itu tidak ada yang putus. Semuanya terlhat normal. Jangan-jangan memang karena..., pikirnya. Tapi segera dibuangnya jauh-jauh pikiran yang tidak masuk akal itu. Lalu ditelusurinya kabel-kabel itu sekali lagi untuk memastikan bahwa dia tidak melewatkan suatu apapun. Tapi sekalipun diteliti ulang, tetap saja dia tidak menemukan adanya kejanggalan pada kabel-kabel listrik itu. Akhirnya diapun menyerah untuk kali ini. Tapi dia bertekad, nanti sore dia harus kembali lagi untuk memeriksa kabel-kabel itu sekali lagi. Kasus ini harus dipecahkan! Tekadnya.
"Gimana, Luh, berhasil?" Dewi menanyakan hasil penyelidikan ketika Galuh baru saja menginjakkan kakinya di lantai kelas.
"Lumayan..." jawab Galuh asal sambil menepuk-nepuk kaos dalamnya yang kotor terkena debu dan sarang laba-laba.
"Lumayan gimana?" kejar Dewi penasaran.
"Bener, ada yang putus?" Bunga penasaran ingin tahu hasilnya.
"Belum semua aku teliti sih, soalnya di atas gelap banget..." Galuh berbohong untuk menghindari ketakutan teman-temannya jika dia menceritakan hal yang sebenarnya.
"Jadi...?" kejar Bunga.
"Yaa... besoklah kita lanjutkan. Besok aku bawa senter dan test pen untuk memasti-kan saluran mana yang putus," jawab Galuh sambil mengenakan baju seragam putihnya karena sewaktu naik ke atap tadi bajunya dia buka.
"Ya, udah. Sekarang kita pulang aja, yuk. Aku takut berlama-lama di sini," ajak Dewi, bersiap untuk meninggalkan kelas.
Akhirnya mereka meninggalkan ruang kelas 9.A yang masih menyimpan misteri, terlebih bagi Galuh yang belum berhasil menemukan penyebab yang mengakibatkan matinya lampu di ruang kelasnya. Sepanjang perjalanan pulang itu pikirannya terus bekerja, menerawang pada keadaan di atap tadi. Otaknya berpikir keras mencari apakah dia melewatkan sesuatu dalam penyelidikannya tadi, atau tidak. Tidak dihiraukannya celotehan Dewi dan Bunga yang bercerita seputar kejadian lucu waktu persami kemarin. Cukup lama dia tercenung, memikir-kan penyelidikannya tadi. Lalu tiba-tiba. Aha! Pikirnya. Galuh tersenyum sendiri. Sepertinya dia telah menemukan jawaban yang dia cari.
***
Pagi itu Dewi nampak gelisah. Sebentar-bentar dia melongokkan badannya ke luar kelas. Tapi tak lama kemudian dia sudah masuk lagi, lalu duduk dibangkunya yang berse-belahan dengan pintu masuk kelas. Di lihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan-nya yang putih berbulu lembut. Sudah hampir jam tujuh? Gumamnya. Tapi yang ditunggunya belum juga menampakkan batang hidung.
"Ada apa sih, Dew? Dari tadi aku perhatiin kamu melongok ke luar terus, seperti tengah menunggu seseorang?" tanya Yanti, yang duduk di belakang bangku Dewi.
"Gak, cuma nungguin si... Nah, itu dia orangnya baru nongol," Dewi tidak jadi menye-butkan nama orang yang sedang ditunggunya, tapi sebagai jawabannya dia menunjuk ke arah seseorang yang tengah berjalan menuju ke arah kelasnya.
"Gimana, Luh, sudah ketemu trouble-nya?" tanya Dewi ketika Galuh baru saja memasuki ruang kelas.
Galuh membisu. Dia terus saja melangkah menuju ke arah bangku tempat duduknya tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi.
"Kemarin sore tuh, jadi gak kamu kesini lagi?" Dewi terus mengejar Galuh dengan pertanyaan sambil menjajari langkahnya.
"Jadi," jawab Galuh singkat.
"Trus, gimana hasilnya? Berhasil?" Dewi semakin penasaran.
"Nanti lah, istirahat aku cerita. Sebentar lagi kan masuk,"
"Ah, aku pingin sekarang. Waktu masuk kan masih lama, sepuluh menit lagi," rengek Dewi sambil duduk di samping Galuh.
"Aku kan baru datang, Dew. Nanti aja ceritanya," Galuh memberi alasan. Dia tidak ingin menceritakannya sekarang. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan hasil temuannya, selain karena dia masih capek karena baru saja sampai, juga tidak lama lagi waktu pelajaran pertama akan segera dimulai.
"Ayolah, sayang, pliiss..." rayu Dewi. Wajahnya yang cantik dibikin memelas.
"Kamu ini, Dew, suka maksa orang," Galuh sedikit kesal, tapi tak urung hatinya luluh juga melihat wajah temannya yang memelas. "Begini...," Lanjutnya sambil menggeser tempat duduk, menghadap ke arah Dewi. "setelah aku selidiki kemarin sore, ternyata instalasi listrik dari ruang perpus ke kelas kita ada yang putus. Keliahatannya sih, tergeser oleh sesuatu, mungkin sama tikus, soalnya sambungannya tidak kuat, hanya dicantelin doang."
"Tapi kok, ke ruang sebelah, gak ikut mati?" tanya Dewi tidak mengerti.
"Jalur listrik yang ke kelas 9.B itu terpisah dengan jalur yang ke kelas kita. Saluran listrik kelas 9.B itu satu jalur dengan kelas 9.C, sedangkan kelas kita satu jalur dengan ruang perpus. Kamu lihat kan di dekat pintu ruang perpus ada dua MCB. Nah, MCB itu yang satu untuk saluran listrik ke perpus dan kelas kita, dan yang satunya lagi untuk saluran ke kelas 9.B dan kelas 9.C," jelas Galuh detail.
"O, jadi lampu mati itu bukan karena ada hantu, ya?"
"Kamu ini, Dew, kayak gak belajar Agama aja. Mana ada sih, orang mati hidup lagi? Lagian hantu itu hanya imajinasi orang-orang penakut, kayak kamu," Galuh menjawel hidung bangir Dewi.
"Siapa yang penakut? Aku tuh bukan takut sama hantu, tapi takut sama gelap," Dewi berdalih. Mulutnya yang manis, dibikin cemberut.
"Iya, deh, iyaa... Eh, tuh ada hantu lewat," Galuh menunjuk ke arah pintu kelas.
"Mana? Mana?" Dewi hampir saja loncat, ketakutan. Tapi setelah dilihatnya tidak ada apa-apa di sana. Tahulah dia, kalau Galuh hanya menakut-nakutinya.
"Sialan, lhu! Hampir aja jantung aku copot," sambungnya sambil memukul lengan Galuh. Matanya yang indah hampir keluar, melotot ke arah Galuh.
"Huh, dasar penakut!"
Cikembar, 27/10/2005
Posting Komentar
Terima kasih atas semua tanggapan sobat-sobat semua.....