top down

Nengok Sobat

Ditulis oleh Kang eNeS ~ Label:

Episode 2 : Mr. K, I Love U

Suasana kelas 8 D tampak begitu tegang setelah mendengar bell tanda pergantian pelajaran berbunyi. Maklum dua jam pelajaran terakhir adalah pelajaran Fisika. Dan ini berarti mereka akan berhadapan dengan guru yang paling ditakuti siswa di SMP Mahardhika. Semua siswa se-SMP sudah pada tahu siapa itu pak Sabda Bentala guru Fisika, yang mereka juluki Mr. K, Mr. Killer. Namanya sedikit aneh, sangat asing terdengar di telinga. Perawakannya tinggi kurus sehingga tulang-tulangnya kelihatan sangat jelas. Kepalanya botak, hanya ditumbuhi sedikit rambut di bagian samping dan belakang kepalanya. Matanya sedikit belo, ditutupi kacamata minus yang tebal. Suaranya agak serak dan berat, sehingga kalau berbicara terdengar sangat menyeramkan. Bawaannya serius dan temperamental. "Neraka !" begitulah pikir anak-anak SMP Mahardhika jika Mr. K ada di dalam kelas. Betapa tidak, semua siswa tidak boleh bercanda, tidak boleh berisik, bahkan tertawa sedikitpun dilarang. Semua harus serius memperhatikannya.
Fuji, yang sejak jam pertama gelisah, semakin resah karena PR Fisikanya belum juga selesai meski jam istirahatnya sudah dia korbankan untuk mengerjakannya. Dia sudah minta bantuan teman sebangkunya, Kartika, tapi ternyata PR Kartika-pun belum selesai. "Celaka!," pikirnya. Tapi apa boleh buat dia harus siap menerima hukuman apa pun, karena semua ini kesalahannya. Kemarin dia terlalu asyik mengikuti kegiatan Pramuka sampai sore sehingga setiba di rumah dia kecapaian, dan akhirnya lupa untuk mengerjakan PR. Dia baru ingat ada PR setelah shalat shubuh, tadi pagi.
"Mr. K, datang! Mr. K, datang!" teriak Egi memberitahukan teman-temannya supaya tenang karena pak Sabda tengah menuju ke ruang kelasnya. Karuan saja, anak-anak yang sejak tadi tegang semakin tegang dengan teriakan Egi itu.
"Assalaamu ‘alaikum!" Pak Sabda menyapa seisi ruang kelas dengan suara khasnya.
"Wa ‘alaikumus salaam.... !" Anak-anak menjawab serempak.
Pak Sabda langsung menuju meja guru yang berada di samping kanan papan tulis, di pojok ruang kelas. Kemudian ia duduk di atas kursi. Dan seperti biasa, ia langsung memulai pelajaran dengan memberikan pertanyaan kepada siswa-siswanya.
"Fuji! Coba kamu sebutkan, apa saja yang mempengaruhi banyaknya kalor yang diterima atau dilepas oleh suatu zat ?" Fuji yang sejak tadi tegang, khawatir kalau-kalau dia disuruh ke depan untuk mengerjakan PR di papan tulis, merasa kaget ketika ditanya secara tiba-tiba seperti itu. Tapi akhirnya ia menjawab dengan sedikit ragu-ragu.
"Eeuu...anu pak..., massa zat..., jenis zat... dan... perubahan suhu, pak."
"Hmm..." Pak Sabda bergumam tanda setuju dengan jawaban Fuji. Lalu mengalihkan pertanyaan. Kali ini yang menjadi sasaran pertanyaan adalah Egi, anak paling bandel di kelas 8 D.
"Coba kamu, Egi! Apa yang dimaksud dengan kalor jenis zat?!"
Egi yang duduknya di bangku deretan paling belakang, menjadi gelagapan karena tidak siap diberi pertanyaan seperti itu.
"Eeu..., eeu.... Joule per kilogram derajat celcius, pak!"
Mendengar jawaban Egi yang asbun, asal bunyi, tentu saja pak Sabda marah, karena anak ini sudah seringkali diperingatkan olehnya supaya rajin belajar dan mau mengubah penampilannya yang urakan, tapi tetap saja tidak berubah.
"Dasar goblog! Itu sih satuan kalor jenis, tauk?! Makanya jangan main melulu! Mau jadi apa kamu nanti kalo sudah besar, hah?! Belajar yang rajin! Dan itu rambuuut..., cek-cek-cek, sisir yang rapi! Jangan gimbal gitu kaya domba garut!"
Semua siswa kelas 8 D menundukkan kepalanya. Mereka takut menjadi sasaran kemarahan Mr. K. Mereka hapal betul kalau Mr. K sudah marah, pasti semua orang yang ada di kelas akan menjadi sasarannya.
"Wadah!" Seru pak Sabda sambil mengalihkan pandangan ke arah Wahdah.
"Wahdah, pak!" protes Wahdah yang merasa tidak enak karena namanya diganti Wadah, yang dalam Bahasa Sunda berarti "tempat sesuatu".
"Iya, sama sajalah! Coba kamu kasih tauk tu si borokokok Egi, mengenai pengertian kalor jenis. Katakan yang keras, biar yang lainnya juga bisa dengar!"
"Kalor jenis adalah... banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan atau menu-runkan suhu 1 kg zat sebesar 1oC." Wahdah menjawab dengan penuh keyakinan.
"Bagus...! Rena, coba kamu terangkan perbedaan antara kalor jenis, kapasitas kalor dan kalor laten!"
Rena yang kutu buku dan pintar, menjawab pertanyaan tersebut dengan tenang dan penuh percaya diri.
"Kalor jenis adalah banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan atau menurun-kan suhu 1 kg zat sebesar 1oC, sedangkan kapasitas kalor adalah banyaknya kalor yang diperlukan untuk menaikkan atau menurunkan suhu suatu zat sebesar 1oC....."
"Lantas, yang dimaksud dengan kalor laten itu apa?" Pak Sabda memotong jawaban Rena yang belum selesai.
"Kalor laten adalah... banyaknya kalor yang diperlukan untuk mengubah bentuk atau wujud suatu zat."
"Hmm... Coba kamu, Kartika. Jelaskan, mengapa raksa, jika dipanaskan, akan lebih cepat panas dibandingkan dengan air?"
"Eeu... karena raksa memiliki kalor jenis yang lebih kecil dibandingkan dengan air, sehingga raksa akan lebih cepat panas jika diberi kalor dalam jumlah yang sama." Kartika menjawab pelan. Maklum anak yang satu ini agak pendiam dan pemalu, tapi meskipun begitu, otaknya lumayan encer.
"Jadi, kesimpulannya apa, Santika?!"
"Eeu... maksudnya apa, pak?" Santika balik bertanya karena kurang faham dengan maksud pertanyaan yang diberikan pak Sabda.
"Maksudnya, maksudnya! Itu, kesimpulan dari jawaban si Kartika, borokokok!" Bentak pak Sabda kesal.
"Ooh, itu pak. Kesimpulannya adalah.... semakin kecil kalor jenis dan massa suatu zat maka akan semakin cepat panas, jika diberi kalor dalam jumlah yang sama...," ragu-ragu Santika menjawab karena kurang begitu yakin dengan jawabannya tersebut.
"Bagus! Oke, anak-anak, sekarang kita lanjutkan pada bahasan selanjutnya..."
Mendengar itu, tentu saja anak-anak kelas 8 D girang bukan kepalang. Dalam hatinya mereka mengucapkan "Alhamdulillaah...!" karena pak Sabda lupa menanyakan PR yang ia berikan dua hari yang lalu. Kalau ditanyakan bisa celaka, soalnya sebagian besar dari mereka belum menyelesaikannya, termasuk Fuji, Kartika dan Rena, anak yang lumayan pintar di kelas itu.

***

Irma tidak bisa tinggal diam. Sebentar-bentar ia masuk kamar, tak lama kemudian ia sudah keluar lagi menuju ruang tivi. Sudah beberapa saluran tivi ia lihat tapi tetap saja tidak ada yang menarik baginya. Dia merasa tidak betah tinggal di rumah. Ingin rasanya ia segera bisa pergi ke sekolah supaya bisa kumpul lagi dengan teman-temannya. Ia rindu suara manja Anita, ia rindu senyum manis Stefany, ia rindu celoteh Mutiara, ia rindu centilnya Santika. Pokoknya ia rindukan keadaan sekolah. "Ah, seandainya mama tidak melarang pergi ke sekolah, pasti siang ini aku sedang ngumpul sama teman-teman." pikir Irma. Tapi apa boleh buat, mamanya yang khawatir akan kondisi kesehatannya tetap memaksa supaya dia beristirahat di rumah.
"Kamu jangan ke sekolah dulu, nanti saja kalau sudah sehat betul, baru boleh pergi ke sekolah. Ingat kata dokter, kamu harus banyak istirahat. Lagian baru dua hari kamu tidak masuk sekolah... Kan kata dokter, kamu harus istirahat minimal tiga hari!" kata mamanya tadi pagi ketika ia hendak pergi ke sekolah. Kalau mamanya sudah ngomong begitu, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tahu kalau mamanya sudah ngomong, tidak bisa dibantah. "My mom, can’t do wrong!", begitu kakaknya, Arya, biasa menyindir mama.
"Irmaa! Tu, ada teman-temanmu di luar. Katanya mau nengok kamu." Teriak mama membuyarkan lamunan Irma yang tengah menerawang membayangkan keadaan sekolah.
"Siapa, maa... Anita bukan?" Irma menebak.
"Iyaa... itu gerombolanmu semua."
Mendengar kata "gerombolan", tentu saja Irma sangat girang karena ini berarti semua temannya datang menjenguk. Maklum, mamanya biasa menyebut teman-teman itu dengan sebutan gerombolan. "Habis, selalu bergerombol sih...," begitu mamanya memberi alasan ketika diprotes atas penyebutan kata gerombolan.
"Hai, every body!" sapa Irma ketika ia sampai ke beranda rumah menemui teman-temannya yang menunggu di sana.
"Lho, kok, kamu gak kelihatan sakit, Ir?" Mutiara bukannya menjawab sapaan, malah balik bertanya.
"Gimana, Ir, sudah sehat?" Anita menanyakan keadaan sahabatnya.
"Alhamdulillah, sekarang sih mendingan. Mungkin besok aku sudah bisa pergi ke sekolah." Irma menerangkan kondisi kesehatannya.
"Jangan, Ir, jangan besok. Lusa aja ke sekolahnya!" Stefany memberi saran.
"Kenapa memangnya dengan besok?" Irma tidak mengerti maksud Stefany.
"Wah, pokoknya bahaya kalo kamu ke sekolah besok. Danger, deh!"
"Danger kenapa?" Irma masih belum faham maksud Stefany.
"Besok kan ada pelajaran Mr. K, dan kemarin dia memberikan PR yang harus sudah selesai besok. Kamu tauk sendiri Mr. K Dia kan tidak pernah mentolelir alasan apapun jika kita tidak mengerjakan PR." Stefany memberikan penjelasan.
"Alaaahh, tenang aja, Ir... Mr. K itu pelupa. Tadi aja di kelasku dia tidak menanyakan PR, padahal kita-kita udah tegang banget karena gak ada seorangpun yang sudah selesai. Si Fuji aja sampai keluar keringat dingin, takut ditanyain." Santika menenangkan kekhawatiran sahabatnya.
"Yaa, gimana besok aja deh! Tapi aku sudah banyak ketinggalan pelajaran nih kalo lama-lama tidak masuk sekolah... Eh, ngomong-ngomong, ada gosip baru apaan nih di sekolah?" Irma mengalihkan pembicaraan.
"Uuu elhu... dasar biang gosip. Yang dipikirin cuma gosiiip melulu," ledek Mutiara.
"Gosip terhangat nih. Pertama, Anita, sahabat kita tercinta ini, sedang dirundung dendam membara sama Mr. K karena kemarin dia dikatain Miss G...." Stefany mulai menceritakan keadaan sekolah sambil melirik ke arah Anita. Anita yang merasa dirinya dilihatin teman-temannya, mencibirkan bibir tanda mencemooh.
"Lalu gosip kedua, di sekolah kita bakal diadain lomba baca puisi dalam rangka perayaan Dis Natalis sekolah. Nah, kita-kita anak kelas 8 G menunjuk kamu, Ir, supaya jadi peserta lomba," sambung Stefany.
"Lho, kok aku, sih?! Kamu dong yang jadi pesertanya, kamu kan anak guru Bahasa Indonesia!" Irma tidak setuju atas penunjukkannya sebagai peserta lomba.
"Eit... jangan dibantah. Ini hasil keputusan sidang pleno anggota ka-pe-ka-pe-en!"
"Apaan tu?" tanya Irma yang merasa asing dengan singkatan itu.
"Ka-pe-ka-pe-en itu singkatan dari Komite Perumus Keikutsertaan Pembacaan Puisi...!" jawab Stepany asal, mengubah singkatan KPKPN (Komite Pemberantasan Korupsi dan Penyelewengan Uang Negara).
"Lalu, en-nya apaan?" Kejar Irma.
"en... en.... en... Natalis!!!"
"Uuu... dasar asbun!" Irma mencubit hidung sobatnya.

***

Lihat Cerbung Kang eNeS lainnya

Posting Komentar

Link aktif dalam komentar secara otomatis akan dihapus/disembunyikan.
Terima kasih atas semua tanggapan sobat-sobat semua.....

SC Community