top down

Mr. K? Gak Janji Deh!

Ditulis oleh Kang eNeS ~ Label:

Episode 3 : Mr. K, I Love U

Hari belum begitu siang ketika anak-anak OSIS SMP Mahardhika mengadakan rapat. Cuaca cukup cerah. Biasanya, setiap siang menjelang sore, cuaca selalu mendung dan diteruskan dengan hujan deras pada sore harinya. Tapi siang ini cuaca tampak cerah, tidak panas, juga tidak mendung.
Aryanti, ketua OSIS SMP Mahardhika, tampak membolak-balik proposal kegiatan yang baru saja ia terima dari Sekretarisnya, Astie. Ia masih mempelajari bagian-bagian dari proposal itu tanpa menghiraukan keadaan teman-temannya yang berisik, menunggunya untuk mengambil keputusan mengenai apakah proposal tersebut layak diajukan ke Pembina OSIS atau masih harus diadakan revisi (perbaikan).
Aryanti masih juga membolak-balik proposal tersebut meski Astie, yang duduk di samping kirinya, sudah berkali-kali menendang kakinya memberi isyarat bahwa teman-temannya sudah mulai resah karena kelamaan menunggu putusan.
“Baiklah, kawan-kawan…” Aryanti memulai lagi pembicaraan setelah diam sekian lama. “Saya rasa proposal ini cukup baik, tapi ada sedikit yang kurang, yaitu mengenai Anggaran Biaya Kegiatan. Anggaran Biaya di proposal ini tidak mencantumkan biaya tak terduga, padahal kita tahu bahwa dalam suatu kegiatan, sering kali terjadi pengeluaran-pengeluaran yang tidak kita perkirakan sebelumnya... Jadi sebaiknya kita mencantumkan biaya tak terduga dalam anggaran tersebut, paling sedikit 20% dari total anggaran.”
“Apakah patokan itu tidak terlalu besar, mengingat 20% dari total anggaran sebesar Rp. 1.500.000,00, itu sama saja dengan Rp. 300.000,00…?” Rahma mempertanyakan besar-an biaya tak terduga. Maklum, sebagai Bendahara, dia merasa bertanggungjawab terhadap pengeluaran uang kas OSIS.
“Iya tu, kegedean! Masa’ untuk biaya tak terduga sebesar itu?!” Lestari yang duduk di sebelah Rahma, turut mempertanyakan besaran uang biaya tak terduga.
“Saya rasa, tidak! Karena ini baru proposal. Sesuai dengan namanya, proposal, berarti usulan. Dan yang namanya usulan, belum tentu diterima oleh pembina OSIS kita.” Aryanti menjelaskan makna proposal yang seringkali disalahmengertikan sebagai rancangan yang sudah final. Dia terdiam sejenak sambil memperhatikan respon teman-temannya. Tapi tak ada satupun di antara teman-temannya yang memberikan reaksi yang menolaknya. Semuanya diam, menunjukkan tanda setuju dengan pendapatnya itu.
“Bagaimana kawan-kawan, apakah ada masukan lain untuk kegiatan yang akan kita laksanakan nanti?” lanjut Aryanti memberi peluang kepada teman-temannya untuk memberi-kan masukan.
Astie yang sejak tadi diam mulai angkat bicara karena ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya mengenai juri untuk lomba baca puisi. Ia merasa kurang sreg dengan susunan personil juri lomba tersebut. Lalu dia pun mengacungkan tangan.
“Saya punya usul,” kata Astie sambil berdiri. “Sebaiknya juri untuk lomba baca puisi, jangan semuanya berasal dari guru Bahasa Indonesia, tapi perlu juga ada juri yang memiliki latar belakang teater atau seni, seperti pak Nugroho, pak Dharman, pak Sholeh atau… pak Sabda,” sambung Astie agak sedikit ragu ketika menyebutkan nama pak Sabda.
“Mr. K?! Wah, gaawat, bisa berabe, tu!” Indah, orang yang paling rame di antara pengurus OSIS, nyeletuk, merasa tidak setuju kalau pak Sabda dilibatkan sebagai juri lomba baca puisi.
“Iya tuuh, bisa-bisa gak ada satupun peserta yang baca puisi kalo Mr. K jadi jurinya. Wah, bisa gagal deh acara gue!” Wida ikut-ikutan bicara, menyambung perkataan Indah. Ia pun tidak setuju kalau pak Sabda dijadikan salah seorang juri lomba baca puisi. Maklum, sebagai Ketua Panitia, tentunya dia khawatir acaranya akan gagal hanya gara-gara satu orang, pak Sabda.
“Kalian gak kenal pak Sabda, sih!” Yuni, yang sejak dimulainya rapat diam, tidak bicara sepatah katapun, mulai buka mulut membela pak Sabda. Ia, yang dikenal cukup dekat dengan pak Sabda, tahu kalau pak Sabda itu dulunya aktivis teater dan rajin menulis puisi. Jadi menurut perasaannya, pak Sabda itu sangat layak untuk dijadikan juri, apalagi untuk lomba baca puisi.
“Ehem, ngebela nih, yeee!” sindir Indah, Wida dan Tiara hampir bersamaan. Maklum, mereka sudah pada tahu kalau Yuni itu murid kesayangan pak Sabda.
“Bukannya ngebela, tapi memang kalian gak tauk siapa itu pak Sabda!” Yuni semakin kesal karena mendapat sindiran dari teman-temannya.
“Sudaah, sudaaah…!” Aryanti menengahi, takut jadi melebar dan rapatnya jadi ajang saling ledek meledek. Lalu lanjutnya, “Astie, coba kamu beri alasan mengapa orang seperti pak Sabda harus dilibatkan sebagai juri lomba?”
“Begini, menurut saya, puisi itu bagian dari seni, demikian juga dalam hal pembaca-annya, jadi sudah selayaknya juri untuk lomba baca puisi melibatkan orang-orang yang memahami seni, seperti seniman, dramawan atau penyair, karena sedikit banyaknya mereka tauk bagaimana cara membaca puisi yang baik menurut versi mereka…” Astie menjelaskan alasannya.
“Lalu, apa hubungannya dengan Mr. K?” Tiara memotong, kurang mengerti dengan maksud perkataan Astie.
“Saya rasa kalian sudah pada tauk kalo pak Nugroho dan pak Dharman itu memang seniman, tapi mengenai pak Sabda masih sedikit di antara kita yang tauk, bahkan mungkin hanya saya dan Yuni saja yang tauk latar belakang pak Sabda….”
“Iyalaah, kalian memang anak kesayangan Mr. K. Tapi cepetan dong ngejelasinnya, jangan bertele-tele gitu!” Syarif yang perutnya mulai keroncongan sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri rapat.
“Iyaa… cepetan dong, lapar nih!” Risman ikut bicara sambil memegangi perutnya.
“Setuju, Ris, gue juga udah laper nih!” Jaka ikut menimpali.
“Pak Sabda itu, sewaktu dia masih kuliah, aktif di teater kampusnya, bahkan diapun aktif menulis puisi, cerpen dan artikel untuk majalah kampusnya. Jadi, saya kira, pak Sabda cukup faham bagaimana cara membaca puisi yang baik!” Astie menjelaskan latar belakang pak Sabda kepada teman-temannya.
“Ok. Saya setuju dengan pandangan Astie. Dan sekarang kita sudah sedikit tahu mengenai pak Sabda. Jadi saya kira, pak Sabda memang cukup layak untuk dijadikan salah seorang juri lomba baca puisi. Bagaimana kawan-kawan?” Aryanti meminta pendapat dari teman-temannya, tapi teman-temannya diam, tak ada seorangpun yang menyatakan ketidak-setujuannya. Lalu dia pun menyambung, “Kalo begitu, kita putuskan saja bahwa yang akan menjadi juri lomba baca puisi nanti adalah pak Nugroho mewakili seniman, pak Setiabudi mewakili guru Bahasa Indonesia dan pak Sabda, mewakili orang teater. Bagaimana, setuju gak nih?!”
“Setujuuu…. !!!” jawab rekan-rekannya serempak.
“Ok. Astie, tolong dicatat, tentang perlunya penambahan biaya tak terduga dalam anggaran biaya kegiatan dan perubahan orang-orang yang akan menjadi juri lomba baca puisi, supaya nanti dimasukkan kedalam proposal oleh Wida.”
“Siap, boss!” kata Astie sambil menyilangkan telapak tangannya di depan kepala, memberi hormat, seperti sikap seorang prajurit kepada komandannya.
“Baiklah, kawan-kawan, sebelum kita akhiri rapat ini, mari kita ucapkan hamdalah…” Aryanti menutup acara rapatnya.
“Alhamdulillaahi rabbil ‘alamien…” kata mereka serempak. Lalu saling berebut keluar dari ruangan. Lebih-lebih Risman, Syarif dan Jaka yang memang sudah sejak tadi menahan lapar, ingin segera mengisi perutnya di kantin.
“Uuhh… dasar, dahro! Dahar rewog!” Teriak teman-temannya ketika melihat Risman, Syarif dan Jaka berlari ke arah kantin.

***

Lihat Cerbung Kang eNeS lainnya

Posting Komentar

Link aktif dalam komentar secara otomatis akan dihapus/disembunyikan.
Terima kasih atas semua tanggapan sobat-sobat semua.....

SC Community