top down

Aku dan Senja

Ditulis oleh Kang eNeS ~ Label:

senja, engkau kerap datang
membawakan sunyi
senja, engkau kerap pergi
meninggalkan sepi
lalu, adakah engkau tahu
pada setiap detik berlalu
aku rindu akan malam
yang tenang bersama bulan


Namanya Senja. Dia adalah siswa baru pindahan dari sebuah SMP di kota hujan, Bogor. Orangnya biasa saja, tidak ganteng, malah bisa dibilang jelek jika di bandingkan dengan teman-teman cowokku yang lain. Badannya tinggi kurus dengan tulang yang besar. Hidungnya juga besar, tidak cocok dengan mukannya yang oval. Matanya tajam dengan alis tebal. Rambutnya lurus tapi seperti tidak pernah mengenal sisir. Sikapnya dingin, sedingin es! Tapi entah kenapa aku selalu betah memandangnya berlama-lama, itupun dengan jalan mencuri-curi. Ada getar aneh yang kurasakan di hati ketika aku melihat sorot matanya. Entah apa? Aku sendiri sering merinding jika mengingatnya. Maklum, ada sedikit rasa takut juga melihat matanya yang tajam.
“Perkenalkan, nama saya, Senja... Senja Putra Semesta,” katanya ketika pertama kali dia memperkenalkan diri di depan kelas.
“Saya lahir di Bogor... Saya pindah ke sini karena mengikuti ibu saya...” lanjutnya menerangkan soal kepindahannya ke kotaku.
“Asal sekolah?” Ibu Aisyah, wali kelasku, menanyakan asal sekolahnya.
“SMP Paledang...” Dia menjawab singkat.
Mendengar nama sekolah itu aku jadi teringat Wiwi, temanku, yang dulu pindah ke SMP Paledang, Bogor. “Ah, si Wiwi pasti mengenal cowok ini,” pikirku. Awas lhu, Wi, kalo ke sini nanti, bakal aku interogasi…..
“Heh! Ada yang manggil tuh!”
“Siapa? Siapa...?” Aku yang tengah asyik melamun, tentu saja kaget dibentak seperti itu. Apalagi sambil ditepuk pundak segala. Dan juga heran karena merasa tidak mendengar ada yang memanggil namaku.
“Itu… tukang bakso. Katanya, utang kemarin, bayar!” Yuni, yang tadi mengagetkanku, bercanda. Kontan saja aku menjadi kesal karena semua lamunanku tentang Senja buyar begitu saja.
“Sialan lhu, Yun! Aku pikir memang ada yang manggil.”
“Makanyaa… jangan suka ngelamun, gak baik, tauk?! Kemarin aja ada orang lagi melamun, tiba-tiba mati…” Yuni mencoba menakut-nakutiku.
“Iyaa... aku juga tauk... Orang itu mati ketabrak mobil, kan?”
“Tauk juga lhu!” Yuni sedikit kecewa karena jebakannya tidak berhasil.
“Gueee...! Lagian elhu, ngasih jebakan yang udah basi!” Aku menerangkan kalau jebakannya itu udah basi banget. Anak ingusan aja udah pada tahu.
“Eh, kita ke perpus, yuk, nyari bahan buat bikin makalah Bahasa Indonesia.” Yuni mengalihkan pembicaraan dengan mengajakku pergi ke perpustakaan. Aku yang lagi males ngapa-ngapain, lagi gak mood banget, tentu saja menolak ajakan itu. Gak tahu nih, akhir-akhir ini aku rada kedul. Bawaannya males terus!
“Males ah! Tuh, ajak aja si Wida yang lagi nongkrong di depan kelas sama si Wati, anak tiga E.”
“Si Wida? Mana mau dia ke perpus?! Orang kayak dia, diajak nongkrong di kantin, pasti mau. Ke perpus? Gak janji deh!” katanya memberi alasan.
“Ya, udah, lhu aja sendiri. Terus terang, hari ini gue lagi males ngapa-ngapain. Lagi gak mood!” kataku jujur.
“Tega lhu, Din!” Yuni kelihatan kecewa dengan jawabanku. Tapi akhirnya dia pergi juga ke perpustakaan, sendirian.
“Sori deh, Yun. Sori banget!” Aku merasa menyesal karena tidak bisa menemani. Ya, bagaimanapun Wahyuni adalah sahabat terbaikku sejak duduk di kelas satu dulu. Aku sudah menganggapnya saudara, demikian pula sebaliknya.

***

Suasana di lapangan basket sangat ramai sore ini. Maklum ada pertandingan persahabatan antara sekolahku dengan SMP PGRI. Tentu saja kesempatan ini dijadikan ajang mejeng dan mencari jodoh oleh sebagian teman-temanku. Mereka pada berdandan super heboh. Ada yang memakai celana jeans super ketat dengan ke atasan memakai kaos lengan pendek, yang juga super ketat, sehingga bagian-bagian yang baru tumbuh dan menonjol di tubuh kelihatan sangat jelas sekali. Ada juga yang memakai rok super mini memamerkan bentuk betis dan pahanya yang putih mulus, sehingga membuat mata para cowok jelalatan ngeliatnya. Aku dan Yuni hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah sebagian teman-temanku itu. Gak ketinggalan, anak-anak cowok pun pada bertingkah aneh-aneh mencari perhatian supporter putri dari sekolah lawan.
“Gila! Seksi banget mereka!” Yuni mengomentarai penampilan teman-teman yang berdandan seksi abis, mirip artis-artis di tivi.
“Mau, seperti mereka?”
“Sorry la yaw! Mending gak pake baju sekalian.” Yuni menjawab asal.
“Hush! Gila lhu, Yun! Emang lhu berani gak pake baju?” Aku mencoba mengujinya. Padahal dalam hatiku, aku yakin orang baik-baik dan cerdas seperti dia pasti gak bakalan berani nekad seperti itu.
“Yaa… berani. Di kamar mandi asal,” jawabnya bergurau.
“Huuu… Aku juga berani kalo cuma telanjang di kamar mandi. Itupun asal sendirian.” Aku merasa tertipu omongannya.
“Kalo aku sih, berduaan juga berani..… asal sama si Laras!” Gurau Yuni lagi.
“Ya, terang aja, siapa takut telanjang berduaan dengan adik yang masih ingusan, aku juga berani kalo cuma begitu.”
“Eh, tuh liat si Visca. Lagi ngobrol sama siapa ya dia? Kelihatannya asyik banget.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan dengan menunjuk ke arah Visca.
“Manaa… manaa…?” tanyanya sambil celingak-celinguk mencari Visca.
“Itu tuuh… dekat pohon mangga, depan perpus.” kataku sambil menunjuk ke arah pohon mangga yang tumbuh di samping kanan lapangan basket, di depan perpustakaan.
“Iya, ya… siapa ya? Hebat juga si Visca bisa dapat cowok kece. Wah, kalah cepat deh, gue.” Yuni memberi komentar.
“Makanyaa…, nyari gi sana, siapa tauk dapat cowok keren.” Aku menyuruhnya pergi mencari kecengan. Sebenarnya sih aku punya maksud terselubung dengan saranku itu. Aku ingin dia lekas pergi supaya aku bisa memandangi Senja yang tengah duduk sendirian di bawah pohon akasia, yang tumbuh tidak jauh dari pohon mangga, depan perpustakaan.
“Males, ah. Kasian Sangga,” katanya singkat.
“Sangga? Siapa tuuh…? Jahat lhu Yun, sama sohib sendiri gak bilang-bilang.” Aku merasa kecewa lantaran Yuni tidak menceritakan kalo di sudah punya cowok.
“Gaak… itu cuma temen biasa, kok.” Yuni mencoba mengelak dari tuduhanku.
“Alaah… Mulanya sih temen, lama kelamaan jadi temin,” ledekku.
“Ya… nanti aja aku kenalin, kalo memang udah fix jadian,” katanya berjanji.
“Janji itu hutang lho!”
“Iyaa… Elhu tuh kayak gak kenal aku aja sih, Din!” jawabnya agak sewot karena aku menyerangnya terus dan seperti tidak percaya pada janjinya.
“Soriii…, soriii…!”
Dalam hatiku, aku merasa iri pada sahabatku itu. Bagaimana tidak, aku yang sering digodain sama cowok, masih tetap menjomlo hingga saat ini. Tapi dia? Boro-boro cowok mau ngegodain, baru senyum aja ke arahnya udah dipelototin. Terang aja, temen-temen cowok pada takut. Sebenarnya dia tuh gak dingin-dingin banget sama makhluk yang bernama “cowok”, hanya saja “gak ada yang level” katanya. Maklum, dia tuh selalu ranking kelas dan juara umum. Jadi dia tuh suka milih-milih cowok yang selevel dengannya: cerdas. “Supaya nyambung kalo diajak ngobrol,” katanya memberi alasan ketika itu.
“Din, kita ke kantin yuk!” ajaknya tiba-tiba.
“Lho, ngapain? Kan sebentar lagi pertandingan mau dimulai.” Aku merasa heran dengan ajakannya yang tiba-tiba. Pasti deh ada apa-apa.
“Yaa… pokoknya kita ke kantin. Ayo dong…!” Yuni merengek sambil menarik-narik lenganku, memaksa aku supaya ikut ke kantin dengannya.
“Ada apa sih, Yun? Orang lain datang kesini pingin liat pertandingan, kamu malah ngajak ke kantin?” Aku semakin heran dengan sikapnya.
“Itu tuuhh….” Yuni memberi isyarat dengan kepalanya, menunjuk ke arah orang yang sedang berjalan menuju ke arah kami.
“Oo… ituu… Oke, lah!” Aku mulai mengerti maksudnya, ketika melihat si Bowo dan si Robby sedang berjalan ke arah tempat duduk kami berdua.
Yuni, memang, paling tidak suka jika didekati si Bowo. Katanya si Bowo itu suka maksa-maksa dan suka nyombongin diri. “Udah tauk ditolak, eh… masih ngejar-ngejar terus. Udah gitu, ngomongnya selangit.” Begitu alasan mengenai ketidaksukaannya sama si Bowo. Padahal menurutku, si Bowo itu orangnya asyik-asyik aja, tidak sombong. Wajahnya juga tidak jelek-jelek amat, bahkan bisa dibilang lumayan ganteng. Otaknya pun cukup encer jika dibandingkan dengan cowok-cowok lain di kelas. Aneh memang. Tapi begitulah Wahyuni, sahabatku. Kadang jalan pikirannya susah ditebak. Terlalu pintar kali?
Akhirnya akupun mengalah dan ikut menemaninya ke kantin. Mengenai pertandingan basket? Aku baru mengetahui hasilnya setelah pertandingan usai, itupun dari si Wida, waktu kami pulang bareng. Katanya sih sekolah kami menang dengan skor tipis, 73 : 69. Dia tahu persis karena menontonnya sejak Quarter pertama hingga Quarter akhir. Maklum, sebagai cheerleaders, tentunya dia selalu berada di dekat lapangan.

***

“Uufh, Maaf!”
“Ngng… gak apa-apa, kok.” Aku berkata dengan sedikit gugup. Maklum, orang yang telah menyenggolku dan mengakibatkan Silver Queen yang baru saja aku beli jatuh ke lantai, adalah orang yang selama ini selalu hadir dalam setiap lamunanku. Siapa lagi kalau bukan Senja Putra Semesta.
Setelah mengatakan itu, kemudian aku berjongkok memungut Silver Queen yang tadi jatuh. Tadinya aku berharap diapun ikut jongkok untuk membantuku, supaya aku bisa secara jelas memandangnya dari dekat. Lalu aku bisa kenalan, terus janjian, terus… Biasa, seperti di film-film tivi. Tapi harapan tinggal harapan, karena dia masih tetap berdiri tegak sambil memandangku memungut Silver Queen. “Ah, sialan...!” kataku dalam hati.
“Heh! Mata lhu tuh ditaro dimana?! Kalo jalan liat-liat dong!” bentak Yuni sambil melotot ke arah Senja.
“Aku kan sudah minta maaf,” katanya singkat.
“Maaf, maaf… Gentiin tuh Silver Queen temenku yang jatuh!” bentak Yuni lagi.
“Sudah, Yun, sudaah… Lagian Silver Queen-ku gak kotor kok, soalnya tadi belum aku buka.” Aku mencoba menenangkan kesewotan Yuni. Aku khawatir akan terjadi keributan. Apalagi ini dengan Senja. Kalau ribut, bisa-bisa nanti malah jadi musuhan. Wah, berabe deh kalau hal itu sampai terjadi. Bisa-bisa…
Senja yang dibentak sedemikian rupa, malah ngeloyor pergi dengan cueknya. Tentu saja aku merasa kecewa karena tadinya aku berharap bisa ngobrol lebih lama dengannya, tentu saja bukan dalam keadaan saling bermusuhan tapi dalam suasana akrab. Ah, dasar si gunung es!
“Elhu tuh gimana sih, Din? Tauk gak, cowok yang seperti itu jangan dikasih hati. Sengaja tuh dia nyenggol elhu, supaya bisa pedekate…!” Yuni mengkritik sikapku yang tadi tidak ikut memarahi Senja.
“Aku kan gak apa-apa, Yun. Lagian Silver Queen-ku masih utuh. Ngapain lagi aku marah sama dia? Dia kan gak sengaja menyenggolku!” Aku memberi alasan atas sikapku tadi. Lagipula, bukan gayaku jika harus berkata seperti itu sama cowok. Apalagi terhadap orang yang tidak sengaja menyenggolku. Yang sengaja usil dan iseng aja, suka aku tanggapi dengan bercanda. Makanya, banyak temen cowok yang suka padaku. Tidak seperti Yuni, dia selalu saja curiga pada setiap cowok yang berusaha mendekatinya. Akibatnya, cowok-cowok pada takut dan menjauh. Hanya si Bowo yang tetap nekad.
“Yaa… elhu! Lemah banget sih sama cowok?! Ya, udah, kita ke kelas aja yuk!” Yuni mengajakku ke kelas. Tapi baru saja beberapa langkah, sudah ada yang memanggilku dari belakang.
“Diniii… tunggu sebentar!” Wida memanggilku dengan berteriak.
“Ada apa Wid, kelihatannya penting?!” Aku menanyakan maksudnya setelah dia tiba di dekatku.
“Kamu tauk kan, cowok yang duduk di sampingku waktu di angkot kemarin. Ituu… waktu kita pulang bareng sehabis nonton pertandingan basket. Dia itu kakakku. Dia sekolah di SMEA Negeri, ngambil jurusan Akuntansi…”
“Terus, apa hubungannya denganku?” Aku memotong omongannya karena kurang mengerti kemana arahnya.
“Alaah… paling-paling dia suka ke elhu, Din. Gitu kan, Wid?” Yuni menebak maksud pembicaraan Wida.
“Iyaa... Dia kirim salam. Katanya pingin kenalan sama elhu, Din”
“Lho, kenapa gak kemarin aja waktu di angkot?” tanyaku heran.
“Katanya, kemarin tuh malu, soalnya banyak temen-temen kita.” Wida menjelaskan alasannya.
“Ya, udah. Bilangin aja, wa’alaikum salam, gitu!” Aku mengakhiri percakapan sambil menggamit tangan Yuni, mengajak ke kelas.

***

Sepi rasanya jika kehilangan seorang sahabat. Biasanya setiap kali istirahat sekolah, pasti aku pergi ke kantin bersama Yuni. Tapi hari ini Yuni gak masuk, katanya pergi ke Bandung, menengok kakaknya yang tengah di rawat di Rumah Sakit, akibat kecelakaan. Ya, terpaksa deh waktu istirahat ini aku habiskan sendirian, tanpa seorang sahabat. Dan tempat yang paling tepat untuk menghabiskan waktu sendirian adalah di perpustakaan.
“Boleh aku duduk?” Tanya sebuah suara tiba-tiba, mengagetkanku yang tengah asyik membaca buku Biologi di meja paling ujung, dekat rak buku-buku Sains.
“Ooh… silahkan!” Dengan sedikit gugup, aku mempersilahkannya duduk di depanku.
“Ini, mengganti yang kemarin.” Senja meletakkan Silver Queen, tepat di depan buku Biologi yang sedang aku baca.
“Lho, aku kan gak minta ganti. Lagian Silver Queen yang kemarin kan gak kotor, masih bisa aku makan.” Aku menggeser Silver Queen yang ia berikan.
“Terserah. Mau diambil syukur, gak juga masabodo. Pokoknya aku sudah menebus dosa yang kemarin.” Katanya dingin, sambil berdiri dari tempat duduknya dan siap-siap untuk pergi meninggalkanku.
“Tunggu! Jangan pergi dulu!” Aku memintanya untuk tetap duduk.
“Ada apa lagi?”
“Kalo kamu mau menebus dosa yang kemarin, bukan begitu caranya. Justru aku merasa tersinggung jika kamu berbuat seperti itu.”
Aku mulai mencari-cari cara supaya bisa ngobrol lebih lama dengannya. Aku merasa ada sesuatu yang janggal dari sikapnya itu. Meskipun dia terlihat dingin, bahkan bisa dibilang angkuh, dan tidak mau perduli pada sekelilingnya, tapi aku merasa itu hanya dibuat-buat untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Buktinya, kalau memang dia angkuh, pasti dia tidak akan mau mengganti Silver Queen-ku, yang kemarin jatuh tersenggol olehnya. Ah, aku harus mengorek banyak keterangan darinya, siapa tauk aku bisa melumerkan gunung es.
“Lho, kok masih berdiri? Duduk dong! Gak enak kan ngobrol sambil berdiri!” Aku mencoba bersikap akrab padanya.
“Boleh kenalan? Namaku Ruh Madani, tapi biasa dipanggil Dini.” Aku mengulurkan tangan, mengajaknya berkenalan.
“Aku sudah tauk.” Jawabnya dingin tanpa memperdulikan tanganku yang masih terulur. Sialan! Tentu saja dia kenal aku karena kami sekelas. Bego juga aku ini. Wah, kalo ada si Yuni di sini, pasti aku sudah diledekinnya abis-abisan.
“Yaa… kali aja kamu belum tauk. Kita kan belum pernah kenalan sebelumnya,” kataku beralasan.
Senja diam, tidak menanggapi omonganku itu. Wah, bingung jadinya menghadapi gunung es ini. Semuanya serba salah. Aku jadi benar-benar kehabisan akal untuk bisa terus ngobrol dengannya. Tapi ini merupakan kesempatan langka bagiku. Kapan lagi aku bisa ngobrol berduaan dengannya seperti ini. Karena itu aku harus berusaha mencari bahan obrolan supaya dia tidak lekas pergi meninggalkanku.
“Aneh ya, dengan nama panggilanku? Gak nyambung!” kataku sedikit bercanda supaya bisa mencairkan suasana yang kaku. “Yaa… mau dipanggil Ruh, takut dikira hantu. Dipanggil Mada, kedengerannya sangat aneh. Kalo dipanggil Dani, entar dikira cowok. Jadi deh dipanggil Dini.”
“Kenapa gak dipanggil Mani aja sekalian?” Senja mulai buka mulut. Ternyata bisa juga si gunung es ini bercanda. Aku pikir dia kaku seperti robot.
“Bercanda kamu. Emang, kamu suka kalo aku dipanggil Mani?”
“Gak! Nama Dini sudah bagus, kok.”
“Kalo kamu suka dipanggil apa, Senja, Putra atau Semesta?”
“Terserah, kamu mau memanggilku apa. Bagiku nama gak penting. Apalah artinya sebuah nama.” Senja berfilsafat.
“Nama itu penting lho! Emang kamu mau dikasih nama asal-asalan, seperti jurig, iblis atau genderewo, misalnya?”
Senja terdiam beberapa saat. Wajahnya sedikit memerah, menunjukkan tampang kesal setelah mendengar ucapanku yang agak memojokan. Ah, menyesal aku mengucapkan kata-kata seperti itu. Kalau saja kata-kata yang keluar itu bisa aku tarik lagi, maka akan aku masukkan kembali ke dalam mulut, lalu menelannya hingga ke perut.
“Aku gak mau berdebat denganmu!” Katanya ketus.
“Lho, siapa yang ngajak berdebat. Aku kan cuma nanya doang?” Aku mulai merasa gak enak karena kelihatannya dia sangat tidak suka dengan ucapanku tadi.
“Aku memang gak mau dipanggil dengan nama asal-asalan, apalagi dengan nama-nama seperti yang kamu sebutkan tadi. Lagian, jurig, iblis atau genderewo itu bukan sebuah nama, tapi species dari makhluk halus. Namanya sendiri gak ada yang tahu pasti. Bisa saja namanya seperti nama-nama manusia…” Senja menerangkan panjang lebar.
“Wah, pinter juga kamu. Kamu dukun, ya?” candaku berusaha bersikap akrab agar bisa mencairkan suasana yang tadi sempat tegang akibat ucapanku yang memojokannya. Senja kelihatan sedikit tersenyum mendengar aku menyebutnya dukun. Tapi itu tidak lama, karena sejurus kemudian, dia sudah memperlihatkan tampang aslinya: dingin dan serius.
“Apa yang harus aku lakukan untuk menebus dosa yang kemarin?” Dia mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan syarat “penebusan dosa” yang akan aku berikan.
Mendengar itu, tentu saja aku jadi bingung, karena syarat itu hanya akal-akalanku saja supaya tadi dia tidak lekas pergi. Aku berpikir sejenak untuk mencari jawaban yang tepat agar tidak kelihatan asal-asalan. Aku ingin dia menganggapku serius dalam hal pemberian syarat “penebusan dosa” ini.
“Eee… kamu pinter Matematika, kan? Ajari aku dong! Kalo kamu mau mengajariku Matematika, aku anggap dosamu sudah tertebus,” kataku dengan mimik yang dibuat serius, padahal ini hanya akal bulusku supaya bisa selalu berdekatan dengannya, dan sekaligus dapat mamfaat lain, yaitu bisa Matematika. Di kelasku dia memang pintar pelajaran eksak. Gak jauh lah dengan si Bowo, jago eksakta.
“Baiklah, tapi dengan syarat…”
“Syaratnya apa?” tanyaku buru-buru, takut syarat yang diajukannya terlalu berat sehingga tidak bisa aku penuhi. Wah, kalo gitu, bisa gagal deh siasatku untuk bisa selalu dekat dengannya.
“Aku gak mau temenmu ikut.”
“Yuni, maksudnya? Ok. Aku setuju. Gimana kalo mulai nanti siang, kan tadi ada PR dari pak Naryo?”
Hatiku girang bukan kepalang karena ternyata Senja mau mengajariku Matematika. Oh, thanks God! Akhirnya aku bisa sering berdekatan dengannya, berduaan lagi, tanpa ada gangguan dari sobatku, Yuni. Ini gara-gara Silver Queen!

***

Tidak terasa waktu bergerak begitu cepat, bahkan menurutku sangat cepat. Rasanya baru sekian menit yang lalu kami mengerjakan soal-soal PR Matematika yang diberikan pak Naryo. Sekarang jam sudah menunjukkan pukul 13.30. Tak terasa memang, padahal kami sudah mengerjakannya sejak selepas bubaran sekolah tadi, pukul 12.00. Dan Ini berarti kami sudah mengerjakannya selama satu setengah jam. Ah, terlalu cepat waktu ini bergerak. Seharusnya pak Naryo tidak memberikan PR sebanyak dua puluh soal, tapi seratus soal sekalian supaya aku bisa berlama-lama dengan Senja.
“Gimana, Din, kamu mulai faham kan?” Senja menanyakan pendapatku setelah kami menyelesaikan soal yang terakhir mengenai transformasi.
“Lumayaan,” kataku singkat.
“Kamu tinggal rajinnya saja untuk berlatih. Soalnya, untuk memahami Matematika itu harus dengan banyak berlatih. Dengan banyak berlatih kita jadi terbiasa dan akan mudah untuk mengerjakan soal-soal yang sulit sekalipun.” Senja memberikan nasehat.
“Iyaa… pak guruu…”
Senja hanya tersenyum mendengar perkataanku itu. Sekarang ia sudah terbiasa mendengar guyonanku. Dan kelihatannya dia sudah bisa diajak bercanda, tidak sekaku hari-hari kemarin. Ah, ternyata si gunung es itu tidak sekeras yang aku bayangkan sebelumnya. Ternyata ia mudah mencair asal kita bisa menarik hatinya.
“Senja, boleh gak aku nanyain sesuatu?”
“Nanya apa lagi? Kan PR-nya sudah selesai?!”
“Iih, bukan masalah Matematika. Ini masalah..…” Aku terdiam beberapa saat untuk mencari kata-kata yang tepat agar tidak menyinggung perasaannya, soalnya takut penyakit “dingin”-nya kambuh lagi. “Kamu gak marah kalo aku nanyain masalah yang agak pribadi?” lanjutku hati-hati.
“Masalah pribadi apa?” Senja kurang mengerti maksudku.
“Kamu kok kelihatan dingin banget dan sangat tertutup. Kenapa sih?” Aku mencoba memberanikan diri menanyakan sikapnya yang dingin selama ini. Siapa tahu, kalau aku tahu masalahnya, bisa sedikit membantu memecahkannya.
“Ah, aku biasa-biasa aja kok. Kalian aja yang menilaiku demikian.”
“Senja, kalo kamu menganggapku teman, cerita dong! Aku merasa kamu memiliki masalah. Itu bisa aku lihat dari matamu yang selalu kosong menerawang sesuatu. Sikapmu juga cuek, gak perduli pada sekelilingmu.....” Aku menarik nafas sebentar sambil melihat reaksinya. “Kalo kamu gak keberatan, boleh dong aku tauk masalahmu?!”
Senja pura-pura tidak mendengar ucapanku. Dia malah sibuk memasukkan buku-bukunya ke dalam tas hitamnya, lalu siap-siap untuk pergi.
“Din, udah siang, nih! Aku harus segera pulang. Masih banyak kerjaan di rumah,” katanya mengalihkan pembicaraan sambil menyorenkan tas hitamnya di pundak.
“O, iya ya. Gak kerasa, sudah jam dua lagi.” Aku tidak berusaha mengejar keiingin-tahuanku akan masalah pribadinya. Mungkin lain kali.
Aku benahi alat-alat tulisku, lalu aku masukkan ke dalam tas biru, warna favoritku. Kemudian kami berjalan keluar dari dalam kelas, hingga akhirnya berpisah di persimpangan jalan. Maklum arah rumah kami berbeda. Aku menuju ke arah Timur sedangkan Senja ke arah Barat.
“Sampai ketemu besok,” kataku sambil melambaikan tangan.
“Hemm…” Senja hanya bergumam.

***

Siang itu aku begitu gelisah. Bagaimana tidak, ketika membuka buku Bahasa Inggris, yang tadi waktu istirahat aku letakkan di atas meja, aku menemukan sepucuk surat yang terselip di antara halaman buku tersebut. Sekilas aku perhatikan tulisan yang tertera pada sampulnya yang berwarna putih. Di sana tertulis: “Untukmu, Dini. Dari Senja.” Tentu saja perasaanku menjadi tidak karuan mengetahui asal surat tersebut. Aku menduga-duga, pasti waktu istirahat tadi dia menyelipkannya ke dalam buku Bahasa Inggrisku, soalnya sepanjang istirahat tadi aku, Wida dan Visca menghabiskannya di kantin sekolah, sambil membicarakan kakak Wahyuni yang harus menjalani operasi penyambungan tulang kaki akibat kecelakaan kemarin.
Waktu terasa begitu lambat bergerak. Pelajaran Biologi yang biasanya menjadi pelajaran paling menarik bagiku karena dari situ aku bisa mengenal kehidupan, kali ini terasa menjemukan. Ingin rasanya pelajaran terakhir ini lekas selesai sehingga aku bisa segera membaca isi surat itu. Sepanjang pelajaran Biologi itu pikiranku menerawang kemana-mana. Sesekali aku melirik ke arah bangku Senja, yang duduk sejajar dengan deretan bangkuku. Tapi sikapnya acuh, seolah tidak terjadi apa-apa. Tidak sedikitpun dia memperhatikanku. Atau mungkin dia hanya pura-pura tidak melihatku yang sebentar-bentar melirik ke arahnya. Ah, peduli apa. Yang aku inginkan saat ini hanyalah suara dering bell tanda pelajaran usai.
Akhirnya, waktu yang ditunggu-tunggu itupun datang juga. Betapa girangnya hatiku. Lalu aku bergegas menuju ke perpustakaan, pura-pura mau membaca buku, padahal hanya ingin membaca surat.

Dini, yang baik…
Semalaman aku hampir tidak bisa tidur karena selalu memikirkan perkataanmu yang menyebutku dingin dan tidak perduli pada sekeliling. Boleh jadi aku memang demikian. Tapi sebenarnya aku tidaklah seperti apa yang kamu sangkakan. Aku sama saja seperti umumnya anak-anak yang lain. Kalaulah aku kelihatan seperti itu, bukannya tanpa sebab. Ada hal yang menjadikanku bersikap demikian. Kamu mungkin akan memahami jika kamupun mengalami apa yang aku alami, dan merasakan apa yang aku rasakan.

Ketahuilah, Din. Menjadi anak yang kehilangan kasih sayang dari kedua orangtua tidaklah mengenakkan. Karena itu bersyukurlah kamu, karena orangtuamu masih rukun dan bersama-sama mengarungi hidup. Tidak seperti aku.
Aku harap, sekarang kamu bisa mengerti.


Setelah membaca isi surat itu mataku terasa perih menahan haru dan perasaanku jadi tak menentu, antara senang, kasihan dan sedih. Senang, karena dia berani berterus terang menceritakan keadaannya padaku. Kasihan, karena beban yang dirasakannya begitu berat sehingga menjadikannya seorang apatis. Sedih, karena aku tidak bisa mengatasi masalahnya yang pelik karena menyangkut masalah kedua orangtuanya. Ah, seandanya saja aku bisa memberi sedikit kebahagiaan untuknya, akan aku lakukan apapun juga asal Senjaku tidak temaram lagi.

Cikembar, 8 Oktober 2005

Lihat Cerpen Kang eNeS lainnya

3 komentar

SeNjA mengatakan...  
1 November 2009 pukul 15.24

hemm,....

senja....

senja memang slalu temaram,tapi langit kemerahannya slalu indah.
kesunyiannya menjelang berakhirnya hari terasa melembutkan hati.

entah...aku berlebihan atau apa... tapi senja adalah suatu waktu,dimana banyak tersimpan rindu.

senja,...selalu indah !
meski akhirnya senja memang pasti berlalu dan malam menggantikannya...

tapi,bukankah esok dia akan kembali...?
sllau begitu...dan langitnya yg merah kembali menyapaku....

nice poem mas ^_^

eNeS mengatakan...  
1 November 2009 pukul 16.08

Sama mbak saya juga mengagumi senja. Indah rasanya jika melihat senja hari dimana kemilau warnanya sangat mengagumkan hati

Unknown mengatakan...  
23 Maret 2011 pukul 17.01

hmmmm,,,,, cerpen yang mengingatkan pada masa remaja yang entah pasti saya akan lupa jika tidak membaca cerpen ini....look simple, but natural.....
senja dan fajar dua penaut berbeda dengan panjang usia yang sama, yang mempertemukan malam dan pagi, yang mempertemukan pagi dan malam......
segala yang indah hanya bisa dilihat mata yang jeli.....
nice work....

Posting Komentar

Link aktif dalam komentar secara otomatis akan dihapus/disembunyikan.
Terima kasih atas semua tanggapan sobat-sobat semua.....

SC Community